Senin, 10 Oktober 2016

PRINSIP LAYANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)



MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah:
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Dosen Pengampu:
Drs. Sukarjo, S.Pd., M.Pd.


Disusun oleh:

1.         Maryanti Nengsih. A. S.            (1401512003)
2.         Claudia Kartikasari                    (1401512019)


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
Prinsip Layanan Anak Berkebutuhan Khusus

1.1         Latar Belakang
Anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.
Beberapa prinsip layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, yang dilengkapi dengan beberapa ilustrasi yang akan memudahkan untuk mengkajinya. Selain itu juga akan disampaikan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus. Fasilitas pembelajaran juga akan menjadi salah satu bahan kajian pada unit ini untuk mendukung layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus.

1.2         Rumusan Masalah
1.        Apa saja prinsip-prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
2.        Bagaimanakah prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
3.        Apakah prinsip khusus yang perlu diperhatikan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
4.        Bagaimanakah bentuk layanan bagi anak berkebutuhan khusus?

1.3         Tujuan
1.        Mengetahui prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
2.        Mengetahui prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
3.        Memahami prinsip khusus yang perlu diperhatikan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Pembahasan

2.1         Prinsip Dasar Layanan Anak Berkebutuhan Khusus
Ada beberapa prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Prinsip dasar tersebut menurut Musjafak Assjari (1995) adalah sebagai berikut:
1.         Keseluruhan anak (all the children).
Layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada pemberian kesempatan bagi seluruh anak berkebutuhan khusus dari berbagai derajat, ragam, dan bentuk kecacatan yang ada. Dengan layanan pendidikan diharapkan anak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin, sehingga ia dapat mencapai hidup bahagia sesuai dengan kecacatannya.
Konsekuensi dari ini, guru seyogyanya bersifat kreatif. Guru dituntut mencari berbagai pendekatan pembelajaran yang cocok bagi anak. Pendekatan tersebut disesuaikan dengan keunikan dan karakteristik dari masing-masing kecatatan.

2.        Kenyataan (reality).
Pengungkapan tentang kemampuan fisik dan psikologis pada masing-masing anak berkebutuhan khusus mutlak untuk dilakukan. Hal ini penting, mengingat malalui tahapan tersebut pelaksanaan pendidikan maupun pelaksanaan rehabilitasi dapat memberikan layanan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak berkebutuhan khusus. Dasar pendidikan yang menempatkan pada kemampuan masing-masing anak tunadaksa inilah yang dimaknai sebagai dasar yang berlandaskan pada kenyataan (reality).

3.        Program yang dinamis (a dynamic program).
Pendidikan pada dasarnya bersifat dinamis. Pendidikan dikatakan dinamis karena yang menjadi subjek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh dan berkembang, yang di dalamnya terdapat proses yang bergradasi, berkesinambungan untuk mencapai sasaran pendidikan. Dinamika dalam proses pendidikan terjadi karena subjek didiknya selalu berkembang, sehingga penyesuaian layanan harus memperhatikan akan perkembangan yang terjadi pada subjek didik. Dinamika dapat pula terjadi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua kenyataan ini menuntut guru untuk mengkaji teori-teori pendidikan yang berkembang setiap saat. Memperhatikan kedua dinamika tersebut layanan pendidikan seharusnya memperhatikan karakteristik yang cukup heterogen pada anak dengan segala dinamikanya.

4.      Kesempatan yang sama (equality of opportunity).
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis-jenis kecacatan yang dialaminya. Titik perhatian pengembangan yang utama pada anak berkebutuhan khusus adalah optimalisasi potensi yang dimiliki masing-masing anak melalui jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Hal-hal yang bersifat teknis berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan menuntut penyelenggara pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan mengusahakan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi kecacatannya.

5.        Kerjasama (cooperative).
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan berhasil mengembangkan potensi mereka mana kala tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait. Beberapa pihak yang terkait yang paling utama adalah orangtua. Orangtua anak berkebutuhan khusus perlu dilibatkan dalam merancang dan menyelenggarakan program pendidikan. Selain orangtua, pihak lain yang terkait adalah dokter, psikolog, psikhiater, pekerja sosial, ahli terapi okupasi, dan ahli fisioterapi, konselor, dan tokoh masyarakat utamanya mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan anak.



2.2         Prinsip dalam Penyelenggaraan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Selain kelima prinsip tersebut di atas, ada prinsip lain yang juga perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.        Prinsip Kasih Sayang
Sebagai manusia, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kasih sayang dan bukan belas kasihan. Kasih sayang yang dimaksudkan merupakan wujud penghargaan bahwa sebagai manusia mereka memiliki kebutuhan untuk diterima dalam kelompok dan diakui bahwa mereka adalah sama seperti anak-anak yang lainnya. Perubahan lingkungan dari lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang ke lingkungan sekolah pada awal anak masuk sekolah merupakan peristiwa yang menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya. Untuk itu, guru sudah seharusnya mampu menggantikan kedudukan orangtua untuk memberikan perasaan kasih sayang kepada anak. Wujud pemberian kasih sayang dapat berupa sapaan, pemberian tugas sesuai dengan kemampuan anak, menghargai dan mengakui keberadaan anak.

2.        Prinsip Keperagaan
Anak berkebutuhan khusus ada yang memiliki kecerdasan di bawah jauh rata-rata. Keadaan ini berakibat anak mengalami kesulitan dalam menangkap informasi, ia memiliki keterbatasan daya tangkap pada hal-hal yang konkret, ia mengalami kesulitan dalam menangkap hal-hal yang abstrak. Untuk itu, guru dalam membelajarkan anak hendaknya menggunakan alat peraga yang memadai agar anak terbantu dalam menangkap pesan. Alat-alat peraga hendaknya disesuaikan dengan bahan, suasana, dan perkembangan anak.

3.        Keterpaduan dan Keserasian Antar Ranah
Dalam proses pembelajaran, ranah kognisi sering memperoleh sentuhan yang lebih banyak, sementara ranah afeksi dan psikomotor kadang terlupakan. Akibat yang terjadi dalam proses pembelajaran seperti ini terjadi kepincangan dan ketidakutuhan dalam memperoleh makna dari apa yang dipelajari.
Pendidikan berfungsi untuk membentuk dan mengembangkan keutuhan kepribadian. Salah satu bentuk keutuhan kepribadian adalah terwujudnya budi pekerti luhur. Penanaman budi pekerti luhur pada subjek didik mustahil terwujud bila hanya dengan penanaman aspek kognitif saja. Untuk itu kedua aspek yang lain perlu meperoleh porsi yang memadai. Keterpaduan dan keserasian antar ranah yang dirancang dan dikembangkan secara komprehensif oleh guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran mendorong terbentuknya kepribadian yang utuh pada diri anak.Untuk itu, guru seyogyanya menciptakan media yang tepat untuk mengembangkan ketiga ranah tersebut.

4.        Pengembangan Minat dan Bakat
Proses pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus pada dasarnya mengembangkan minat dan bakat mereka. Minat dan bakat masing-masing subjek didik berbeda, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Tugas guru dan orangtua adalah mengembangkan minat dan bakat yang terdapat pada diri anak masing-masing. Hal ini dilakukan karena, minat dan bakat seseorang memberikan sumbangan dalam pencapaian keberhasilan. Oleh karena itu, proses pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus hendaknya didasarkan pada minat dan bakat yang mereka miliki.

5.        Kemampuan Anak
Heterogenitas mewarnai kelas-kelas pendidikan pada anak berkebutuhan khusus, akibatnya masing-masing subjek didik perlu memperoleh perhatian dan layanan yang sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud meliputi keunggulan-keunggulan apa yang ada pada diri anak, dan juga aspek kelemahan-kelemahannya. Proses pendidikan yang berdasar pada kemampuan anak akan lebih terarah ketimbang yang berdasar bukan pada kemampuan anak, seperti keinginan orangtua atau tuntutan paket kurikulum. Orangtua memang memiliki anaknya, tetapi seringkali terjadi orangtua kurang dan tidak mengetahui kemampuan anaknya. Mereka menganggap sama pada semua anaknya. Oleh karena itu, sebelum dan selama proses pendidikan orangtua perlu disertakan dalam proses pendidikan anaknya, sehingga kemampuan dan perkembangannya dapat diikutinya. Selain itu, guru n harus mampu menerjemahkan tuntutan kurikulum terhadap heteroginitas kemampuan masing-masing subjek didik.

6.        Model
Guru merupakan model bagi subjek didiknya. Perilaku guru akan ditiru oleh anaknya didiknya. Oleh karena itu, guru perlu merancang secermat mungkin pembelajaran agar model yang ditampilkannya oleh guru dapat ditiru oleh anak.
Di sekolah, anak-anak lebih percaya pada gur-gurunya daripada orangtuanya. Hal ini terjadi karena dunia anak telah pindah dari lingkungan keluarga ke lingkungan baru, yaitu sekolah. Kepercayaan anak terhadap orang-orang yang ada di sekolah perlu dimanfaatkan dalam proses pendidikan. Pemanfaatan tersebut berupa pemberian contoh atau model yang secara sadar atau tidak sadar membentuk pribadi dan perilaku subjek didik. Karena guru menjadi pusat perhatian model anak, maka penataan dirinya perlu didahulukan, mulai dari cara berpakaian, bertutur kata, berdiri di kelas atau di luar kelas.

7.        Pembiasaan
Penanaman pembiasaan pada anak normal lebih mudah bila dibarengi dengan informasi pendukungnya. Hal ini tidak mudah bagi anak berkebutuhan khusus. Pembiasaan bagi anak berkebutuhan khusus membutuhkan penjelasan yang lebih konkret dan berulang-ulang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan indera yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan proses berpikirnya yang kadang lambat. Untuk itu, pembiasaan pada anak berkebutuhan khusus harus dilakuakn secara berulang-ulang dan diringi dengan contoh yang konkret.






8.        Latihan
Latihan merupakan cara yang sering ditempuh dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Latihan sering dilakukan bersamaan dengan pembentukan pembiasaan. Porsi latihan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Pemahaman akan kemampuan anak dalam memberikan latihan pada diri subjek didik akan membantu penguasaan keterampilan yang telah dirancangkan lebih dahulu. Latihan yang diberikan tidak melebihi kemampuan anak, sehingga anak senang melakukan kegiatan yang telah diprogramkan oleh pengelola pendidikan.

9.        Pengulangan
Karakteristik umum anak berkebutuhan khusus adalah mudah lupa. Oleh karena itu, pengulangan dalam memberikan informasi perlu memperoleh perhatian tersendiri. Pengulangan diperlukan untuk memperjelas informasi dan kegiatan yang harus dilakukan anak. Meskipun hal ini sering menjemukan, tetapi kenyataan mereka memerlukan demi penguasaan suatu informasi yang utuh.

10.    Penguatan
Penguatan atau reinforcement merupakan tuntutan untuk membentuk perilaku pada anak. Pemberian penguatan yang tepat berupa pujian, atau penghargaan yang lain terhadap munculnya perilaku yang dikehendaki pada anak akan membantu terbentuknya perilaku. Pujian yang diberikan padanya akan memiliki arti tersendiri dalam pencapaian usaha keberhasilan. Secara psikologis akan memberikan penghargaan pada diri subjek didik, bahwa dirinya mampu berbuat. Penghargaan ini akan memberikan motivasi pada diri mereka. Bila ini terjadi, anak akan berusaha untuk menampilkan prestasi lain.





2.3         Prinsip Khusus dalam Layanan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Selain prinsip umum di atas, ada beberapa prinsip khusus yang perlu diperhatikan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Prinsip khusus tersebut berkaitan erat dengan kecacatan yang dialami anak. Prinsip khusus yang berkaitan dengan layanan pendidikan anak tunanetra menurut Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw (1995) adalah:
1.         Prinsip Totalitas
Prinsip totalitas berarti keseluruhan atau keseutuhan. Dalam prinsip ini guru dalam mengajar suatu konsep harus secara keseluruhan atau utuh. Keseluruhan dimaksudkan bahwa dalam mengenalkan konsep sedapat mungkin melibatkan keseluruhan indera, sedangkan keutuhan dimaksudkan bahwa konsep yang dikenalkan harus utuh, tidak sepotong-potong. Misalnya, menjelaskan “tomat” , guru tidak hanya mengenalkan model tomat, tetapi sedapat mungkin ditunjukkan tomat yang asli, anak disuruh meraba bentuk-bentuk tomat, mencium bau tomat, merasakan tomat, dan bahkan melengkapinya dengan bentuk pohon tomat.

2.         Prinsip Keperagaan
Prinsip keperagaan sangat dibutuhkan untuk menjelaskan konsep baru pada anak tunanetra. Prinsip peragaan berkaitan erat dengan tipe belajar anak. Ada anak yang mudah menerima konsep melalui indera perabaan, adan anak yang mudah melalui indera pendengaran. Dengan peraga anak akan terhindar dari verbalisme. Misalnya, guru menerangkan perbedaan antara apel dan tomat. Guru harus membawa kedua jenis buah tersebut. Anak harus dapat membedakan keduanya dari segi teksture (kasar-halus, keras-lembut), berat, rasa, dan baunya.
Contoh lain, misalnya guru akan menerangkan nyamuk; untuk suara mungkin dapat langsung, tetapi untuk bentuk guru harus mencari spesimen nyamuk, yang besarnya mungkin ratusan kali dari nyamuk yang sesungguhnya. Informasi ukuran ini harus diberitahukan supaya anak tidak salah persepsi. Dengan spesimen anak dapat leluasa meraba dan membayangkan dengan nyamuk yang sesungguhnya.


3.        Prinsip Berkesinambungan
Prinsip berkesinambungan sangat dibutuhkan anak tunanetra dalam mempelajari konsep. Matapelajaran yang satu harus berkesinambungan dengan mata pelajaran yang lain. Kesinambungan tersebut dalam hal materi dan istilah yang digunakan oleh guru, jika tidak anak tunanetra akan mengalami kebingungan. Mereka beranggapan guru sebagai sumber informasi yang diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, guru disarankan untuk selalu menghubungkan materi pelajaran yang telah dipelajari dengan materi pelajaran yang akan dipelajari. Istilah yang digunakan hendaknya tidak terlalu banyak variasi antara guru yang satu dengan guru yang lain.

4.        Prinsip Aktivitas
Prinsip aktivitas penting artinya dalam kegiatan belajar anak. Murid dapat memberikan respon terhadap stimulus yang diberikan oleh guru. Reaksi ini dilaksanakan dalam bentuk mengamati sendiri dengan bekerja sendiri. Tugas guru membantu anak dalam kegiatan belajar mengajar. Anak tunanetra diharapkan aktif tidak hanya sebagai pendengar. Tanpa aktivitas, konsep yang diterima anak hanya sedikit dan mereka akan merasa jenuh. Situasi demikian dapat membuat mereka mengantuk. Sebaliknya, jika anak tunanetra aktif dalam kegiatan pembelajaran, maka pengalaman belajar mereka banyak, mereka memperoleh kepuasan dalam belajar, sehingga akan mendorong rasa ingin tahu yang tinggi.

5.        Prinsip Individual
Prinsip individual dalam pembelajaran berarti pengajaran dilaksanakan dengan memperhatikan perbedaan individu anak, potensi anak, bakat dan kemampuan masing-masing anak. Prinsip individual sangat dibutuhkan dalam mendidik anak tunanetra. Prinsip ini merupakan ciri khusus dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Bagi anak tunanetra, prinsip individual mendorong guru untuk memenuhi tuntutan variasi ketunaan dan kemampuan anak. Guru dituntut sabar, telaten, ulet, dan kreatif. Guru harus mengajar satu persatu sesuai dengan perbedaan anak.

2.4     Bentuk Penyelenggaraan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak bagi anak berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu:
1.    Regular Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2.    Regular Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
3.    Itinerant Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
4.    Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, naun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)
5.    Pusat Diagnostik-Prescriptif
6.    Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa)
7.    Self-contained Class (Kelas khusus disekolah biasa bersama guru PLB)
8.    Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9.    Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)
Bentuk penyelenggaraan pendidikan menurut Hallahan dan Kauffman (1991) tersebut menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat dididik dimana saja, di sekolah, dirumah, ataupun di rumah sakit selama memungkinkan. Pilihannya anak berkebutuhan khusus dapat dididik di tempat yang hampir tidak ada campur tangan Guru PLB sama sekali di kelas reguler sampai dengan pelayanan pendidikan di sekolah khusus, seperti SLB untuk tunarungu, SLB untuk tunagrahita, SLB untuk tunadaksa, dsb.



Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2 besar, yaitu:
1.    Pendidikan Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaran pendidikan yang dilakasanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggarakan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutukhan khusus. Seperti SDLB, SMPLB, SMALB.
Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanakan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
a.         Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggarakan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. SLB berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelaianan saja), sehingga ada SLB untuk Tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk  tunadaksa (SLB-D), SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di SLB tesebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.

b.    Sekolah Luar Biasa Ber-asrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta Didik SLB berasrama tinggal bersama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama.bentuk satuan pendidikannya pun sama dengan SLB di atas, sehingga ada SLB-A,B, C, D, dan E.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang disekolah dengan yang di asrama, sehinggan asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu SLB asrama merupakan pilihan sekolah yang sasuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
c.     Kelas Jauh/Kelas Kunjung
Kelas Jauh/Kelas Kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggarakan kelas ini merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
Dalam penyelenggarakan kelas jauh/kelas kunjung ini menjadi tanggung jawab SLB terdekat. Tenaga guru yang bertugas di klas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat.
d.    Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapi tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapi, psikolog, speech therapis, audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendidikan individualisasi. Selain kegiatan pembejaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas, anak tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi bunyi dan irama, anak tunagrahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik.

2.    Pendidikan Terpadu/Integrasi/Inklusi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi/inklusi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistam integrasianak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, si sekolah terpadu di sediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
1)        Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar dikelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus.

2)        Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini seing disebut juga keterpaduan sebagian.




3)        Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.


















Penutup

3.1    Simpulan
Ada beberapa prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu Keseluruhan anak (all the children), Kenyataan (reality), Program yang dinamis (a dynamic program), Kesempatan yang sama (equality of opportunity), dan Kerjasama (cooperative).
Prinsip lain yang juga perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, meliputi Prinsip Kasih Sayang, Prinsip Keperagaan, Keterpaduan dan Keserasian Antar Ranah, Pengembangan Minat dan Bakat, Kemampuan Anak, Model, Pembiasaan, Latihan, Pengulangan, dan Prinsip Penguatan.
Ada beberapa prinsip khusus yang berkaitan dengan layanan pendidikan anak tunanetra adalah Prinsip Totalitas, Prinsip Keperagaan, Prinsip Berkesinambungan, Prinsip Aktivitas, Prinsip Individual.
Bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terbagi menjadi 3 besar, yaitu: Pendidikan Segregasi dan Pendidikan Terpadu/Integrasi/Inklusi.

3.2    Saran
Seorang calon guru Sekolah Dasar perlu memiliki keterampilan mengenal dan memahami para siswanya. Para siswa tersebut tidak hanya siswa yang normal tetapi juga siswa berkebutuhan khusus. Calon guru SD harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Hal ini perlu diperhatikan agar nantinya mampu mengajar anak-anak berkebutuhan khusus dengan tepat dan sesuai dengan prinsip layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Ilmu ini berguna untuk dipelajari terlebih khusus bagi para calon pendidik di daerah terpencil yang fasilitas pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus sangat minim.





Daftar Pustaka

Afriadi, Yusuf. 2012. Prinsip Pendidikan Anak Berkelainan. (Online). (http://gudangmakalahku.blogspot.com, diakses 17 Maret 2013)
                       
Divasari. 2012. Prinsip Layanan Pendidikan bagi Anak. (Online). (http://deevashare.blogspot.com, diakses 17 Maret 2013)

Effendi, Muhammad. 2008. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Suparno, Heri Purwanto, dkk. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depdiknas: Jakarta.


Tidak ada komentar: