MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah:
Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus
Dosen Pengampu:
Drs.
Sukarjo,
S.Pd., M.Pd.
Disusun oleh:
1.
Maryanti
Nengsih. A. S. (1401512003)
2.
Claudia
Kartikasari (1401512019)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
2014
Prinsip Layanan
Anak Berkebutuhan Khusus
1.1
Latar Belakang
Anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak
yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang
membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang
menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan.
Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian
layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan
dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat
dilakukan secara optimal.
Beberapa prinsip layanan
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, yang dilengkapi dengan beberapa
ilustrasi yang akan memudahkan untuk mengkajinya. Selain itu juga akan
disampaikan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk anak
berkebutuhan khusus. Fasilitas pembelajaran juga akan menjadi salah satu bahan
kajian pada unit ini untuk mendukung layanan pendidikan anak berkebutuhan
khusus.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa saja prinsip-prinsip dasar dalam layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
2.
Bagaimanakah prinsip dalam penyelenggaraan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
3.
Apakah prinsip khusus yang perlu diperhatikan dalam
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus?
4.
Bagaimanakah bentuk layanan bagi anak
berkebutuhan khusus?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui prinsip dasar dalam layanan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus.
2.
Mengetahui prinsip dalam penyelenggaraan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
3.
Memahami prinsip khusus yang
perlu diperhatikan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Pembahasan
2.1
Prinsip Dasar Layanan
Anak Berkebutuhan Khusus
Ada beberapa prinsip
dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya yang perlu
diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Prinsip dasar tersebut menurut
Musjafak Assjari (1995) adalah sebagai berikut:
1.
Keseluruhan anak (all the children).
Layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus harus didasarkan
pada pemberian kesempatan bagi seluruh anak berkebutuhan khusus dari berbagai
derajat, ragam, dan bentuk
kecacatan yang ada. Dengan layanan pendidikan diharapkan anak dapat
mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin, sehingga ia dapat
mencapai hidup bahagia sesuai dengan kecacatannya.
Konsekuensi dari ini, guru seyogyanya bersifat kreatif. Guru
dituntut mencari berbagai pendekatan pembelajaran yang cocok bagi anak.
Pendekatan tersebut disesuaikan dengan keunikan dan karakteristik dari
masing-masing kecatatan.
2.
Kenyataan (reality).
Pengungkapan tentang kemampuan fisik dan psikologis pada
masing-masing anak berkebutuhan khusus mutlak untuk dilakukan. Hal ini penting,
mengingat malalui tahapan tersebut pelaksanaan pendidikan maupun pelaksanaan
rehabilitasi dapat memberikan layanan yang sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki oleh masing-masing anak berkebutuhan khusus. Dasar pendidikan yang
menempatkan pada kemampuan masing-masing anak tunadaksa inilah yang dimaknai
sebagai dasar yang berlandaskan pada kenyataan (reality).
3.
Program yang dinamis (a dynamic program).
Pendidikan pada dasarnya bersifat dinamis. Pendidikan dikatakan
dinamis karena yang menjadi subjek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh
dan berkembang, yang di dalamnya terdapat proses yang bergradasi,
berkesinambungan untuk mencapai sasaran pendidikan. Dinamika dalam proses
pendidikan terjadi karena subjek didiknya selalu berkembang, sehingga
penyesuaian layanan harus memperhatikan akan perkembangan yang terjadi pada
subjek didik. Dinamika dapat pula terjadi pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Kedua kenyataan ini menuntut guru untuk mengkaji teori-teori pendidikan yang
berkembang setiap saat. Memperhatikan kedua dinamika tersebut layanan
pendidikan seharusnya memperhatikan karakteristik yang cukup heterogen pada
anak dengan segala dinamikanya.
4.
Kesempatan yang sama (equality of
opportunity).
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang
sama untuk mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis-jenis kecacatan
yang dialaminya. Titik perhatian pengembangan yang utama pada anak berkebutuhan
khusus adalah optimalisasi potensi yang dimiliki masing-masing anak melalui
jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Hal-hal yang bersifat teknis berkaitan
dengan sarana dan prasarana sekolah disesuaikan dengan kenyataan yang ada.
Kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan menuntut penyelenggara
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan mengusahakan
sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi
kecacatannya.
5.
Kerjasama (cooperative).
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan berhasil
mengembangkan potensi mereka mana kala tidak melibatkan pihak-pihak yang
terkait. Beberapa pihak yang terkait yang paling utama adalah orangtua.
Orangtua anak berkebutuhan khusus perlu dilibatkan dalam
merancang dan menyelenggarakan program pendidikan. Selain orangtua, pihak lain
yang terkait adalah dokter, psikolog, psikhiater, pekerja sosial, ahli terapi
okupasi, dan ahli fisioterapi, konselor, dan tokoh masyarakat utamanya
mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan anak.
2.2
Prinsip dalam
Penyelenggaraan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Selain kelima prinsip tersebut di atas, ada
prinsip lain yang juga perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.
Prinsip Kasih Sayang
Sebagai manusia, anak
berkebutuhan khusus membutuhkan kasih sayang dan bukan belas kasihan. Kasih
sayang yang dimaksudkan merupakan wujud penghargaan bahwa sebagai manusia
mereka memiliki kebutuhan untuk diterima dalam kelompok dan diakui bahwa mereka
adalah sama seperti anak-anak yang lainnya. Perubahan lingkungan dari
lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang ke lingkungan sekolah pada awal
anak masuk sekolah merupakan peristiwa yang menentukan bagi perkembangan anak
selanjutnya. Untuk itu, guru sudah seharusnya mampu menggantikan kedudukan
orangtua untuk memberikan perasaan kasih sayang kepada anak. Wujud pemberian
kasih sayang dapat berupa sapaan, pemberian tugas sesuai dengan kemampuan anak,
menghargai dan mengakui keberadaan anak.
2.
Prinsip Keperagaan
Anak berkebutuhan khusus
ada yang memiliki kecerdasan di bawah jauh rata-rata. Keadaan ini berakibat
anak mengalami kesulitan dalam menangkap informasi, ia memiliki keterbatasan
daya tangkap pada hal-hal yang konkret, ia mengalami kesulitan dalam menangkap
hal-hal yang abstrak. Untuk itu, guru dalam membelajarkan anak hendaknya
menggunakan alat peraga yang memadai agar anak terbantu dalam menangkap pesan.
Alat-alat peraga hendaknya disesuaikan dengan bahan, suasana, dan perkembangan
anak.
3.
Keterpaduan dan Keserasian Antar
Ranah
Dalam proses
pembelajaran, ranah kognisi sering memperoleh sentuhan yang lebih banyak,
sementara ranah afeksi dan psikomotor kadang terlupakan. Akibat yang terjadi
dalam proses pembelajaran seperti ini terjadi kepincangan dan ketidakutuhan
dalam memperoleh makna dari apa yang dipelajari.
Pendidikan berfungsi
untuk membentuk dan mengembangkan keutuhan kepribadian. Salah satu bentuk
keutuhan kepribadian adalah terwujudnya budi pekerti luhur. Penanaman budi
pekerti luhur pada subjek didik mustahil terwujud bila hanya dengan penanaman
aspek kognitif saja. Untuk itu kedua aspek yang lain perlu meperoleh porsi yang
memadai. Keterpaduan dan keserasian antar ranah yang dirancang dan dikembangkan
secara komprehensif oleh guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran
mendorong terbentuknya kepribadian yang utuh pada diri anak.Untuk itu, guru
seyogyanya menciptakan media yang tepat untuk mengembangkan ketiga ranah tersebut.
4.
Pengembangan Minat dan Bakat
Proses pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus pada dasarnya
mengembangkan minat dan bakat mereka. Minat dan bakat masing-masing subjek
didik berbeda, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Tugas guru dan orangtua
adalah mengembangkan minat dan bakat yang terdapat pada diri anak
masing-masing. Hal ini dilakukan karena, minat dan bakat seseorang memberikan
sumbangan dalam pencapaian keberhasilan. Oleh karena itu, proses pembelajaran
pada anak berkebutuhan khusus hendaknya didasarkan pada minat dan bakat yang
mereka miliki.
5.
Kemampuan Anak
Heterogenitas mewarnai kelas-kelas pendidikan pada anak
berkebutuhan khusus, akibatnya masing-masing subjek didik perlu memperoleh
perhatian dan layanan yang sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud
meliputi keunggulan-keunggulan apa yang ada pada diri anak, dan juga aspek
kelemahan-kelemahannya. Proses pendidikan yang berdasar pada kemampuan anak
akan lebih terarah ketimbang yang berdasar bukan pada kemampuan anak, seperti
keinginan orangtua atau tuntutan paket kurikulum. Orangtua memang memiliki
anaknya, tetapi seringkali terjadi orangtua kurang dan tidak mengetahui
kemampuan anaknya. Mereka menganggap sama pada semua anaknya. Oleh karena itu,
sebelum dan selama proses pendidikan orangtua perlu disertakan dalam proses
pendidikan anaknya, sehingga kemampuan dan perkembangannya dapat diikutinya.
Selain itu, guru n harus mampu menerjemahkan tuntutan kurikulum terhadap
heteroginitas kemampuan masing-masing subjek didik.
6.
Model
Guru merupakan model bagi subjek didiknya. Perilaku guru akan
ditiru oleh anaknya didiknya. Oleh karena itu, guru perlu merancang secermat
mungkin pembelajaran agar model yang ditampilkannya oleh guru dapat ditiru oleh
anak.
Di sekolah, anak-anak lebih percaya pada gur-gurunya daripada
orangtuanya. Hal ini terjadi karena dunia anak telah pindah dari lingkungan
keluarga ke lingkungan baru, yaitu sekolah. Kepercayaan anak terhadap
orang-orang yang ada di sekolah perlu dimanfaatkan dalam proses pendidikan.
Pemanfaatan tersebut berupa pemberian contoh atau model yang secara sadar atau
tidak sadar membentuk pribadi dan perilaku subjek didik. Karena guru menjadi
pusat perhatian model anak, maka penataan dirinya perlu didahulukan, mulai dari
cara berpakaian, bertutur kata, berdiri di kelas atau di luar kelas.
7.
Pembiasaan
Penanaman pembiasaan pada anak normal lebih mudah bila dibarengi
dengan informasi pendukungnya. Hal ini tidak mudah bagi anak berkebutuhan
khusus. Pembiasaan bagi anak berkebutuhan khusus membutuhkan penjelasan yang
lebih konkret dan berulang-ulang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan indera
yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan proses berpikirnya yang kadang
lambat. Untuk itu, pembiasaan pada anak berkebutuhan khusus harus dilakuakn
secara berulang-ulang dan diringi dengan contoh yang konkret.
8.
Latihan
Latihan merupakan cara yang sering ditempuh dalam pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus. Latihan sering dilakukan bersamaan dengan pembentukan
pembiasaan. Porsi latihan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus
disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Pemahaman akan kemampuan anak
dalam memberikan latihan pada diri subjek didik akan membantu penguasaan
keterampilan yang telah dirancangkan lebih dahulu. Latihan yang diberikan tidak
melebihi kemampuan anak, sehingga anak senang melakukan kegiatan yang telah
diprogramkan oleh pengelola pendidikan.
9.
Pengulangan
Karakteristik umum anak berkebutuhan khusus adalah mudah lupa.
Oleh karena itu, pengulangan dalam memberikan informasi perlu memperoleh
perhatian tersendiri. Pengulangan diperlukan untuk memperjelas informasi dan
kegiatan yang harus dilakukan anak. Meskipun hal ini sering menjemukan, tetapi
kenyataan mereka memerlukan demi penguasaan suatu informasi yang utuh.
10. Penguatan
Penguatan atau reinforcement merupakan tuntutan untuk
membentuk perilaku pada anak. Pemberian penguatan yang tepat berupa pujian,
atau penghargaan yang lain terhadap munculnya perilaku yang dikehendaki pada
anak akan membantu terbentuknya perilaku. Pujian yang diberikan padanya akan
memiliki arti tersendiri dalam pencapaian usaha keberhasilan. Secara psikologis
akan memberikan penghargaan pada diri subjek didik, bahwa dirinya mampu
berbuat. Penghargaan ini akan memberikan motivasi pada diri mereka. Bila ini
terjadi, anak akan berusaha untuk menampilkan prestasi lain.
2.3
Prinsip Khusus dalam
Layanan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Selain prinsip umum di atas, ada beberapa prinsip khusus yang
perlu diperhatikan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Prinsip khusus tersebut berkaitan erat dengan kecacatan yang dialami anak.
Prinsip khusus yang berkaitan dengan layanan pendidikan anak tunanetra menurut
Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw (1995) adalah:
1.
Prinsip Totalitas
Prinsip totalitas
berarti keseluruhan atau keseutuhan. Dalam prinsip ini guru dalam mengajar
suatu konsep harus secara keseluruhan atau utuh. Keseluruhan dimaksudkan bahwa
dalam mengenalkan konsep sedapat mungkin melibatkan keseluruhan indera,
sedangkan keutuhan dimaksudkan bahwa konsep yang dikenalkan harus utuh, tidak
sepotong-potong. Misalnya, menjelaskan “tomat” , guru tidak hanya mengenalkan
model tomat, tetapi sedapat mungkin ditunjukkan tomat yang asli, anak disuruh
meraba bentuk-bentuk tomat, mencium bau tomat, merasakan tomat, dan bahkan
melengkapinya dengan bentuk pohon tomat.
2.
Prinsip Keperagaan
Prinsip keperagaan sangat dibutuhkan untuk
menjelaskan konsep baru pada anak tunanetra. Prinsip peragaan berkaitan erat
dengan tipe belajar anak. Ada anak yang mudah menerima konsep melalui indera
perabaan, adan anak yang mudah melalui indera pendengaran. Dengan peraga anak
akan terhindar dari verbalisme. Misalnya, guru menerangkan perbedaan antara
apel dan tomat. Guru harus membawa kedua jenis buah tersebut. Anak harus dapat
membedakan keduanya dari segi teksture (kasar-halus, keras-lembut), berat,
rasa, dan baunya.
Contoh lain, misalnya guru akan menerangkan
nyamuk; untuk suara mungkin dapat langsung, tetapi untuk bentuk guru harus
mencari spesimen nyamuk, yang besarnya mungkin ratusan kali dari nyamuk yang
sesungguhnya. Informasi ukuran ini harus diberitahukan supaya anak tidak salah
persepsi. Dengan spesimen anak dapat leluasa meraba dan membayangkan dengan
nyamuk yang sesungguhnya.
3.
Prinsip Berkesinambungan
Prinsip berkesinambungan sangat dibutuhkan anak
tunanetra dalam mempelajari konsep. Matapelajaran yang satu harus
berkesinambungan dengan mata pelajaran yang lain. Kesinambungan tersebut dalam
hal materi dan istilah yang digunakan oleh guru, jika tidak anak tunanetra akan
mengalami kebingungan. Mereka beranggapan guru sebagai sumber informasi yang
diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, guru disarankan untuk selalu
menghubungkan materi pelajaran yang telah dipelajari dengan materi pelajaran
yang akan dipelajari. Istilah yang digunakan hendaknya tidak terlalu banyak
variasi antara guru yang satu dengan guru yang lain.
4.
Prinsip Aktivitas
Prinsip aktivitas penting artinya dalam kegiatan
belajar anak. Murid dapat memberikan respon terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru. Reaksi ini dilaksanakan dalam bentuk mengamati sendiri dengan
bekerja sendiri. Tugas guru membantu anak dalam kegiatan belajar mengajar. Anak
tunanetra diharapkan aktif tidak hanya sebagai pendengar. Tanpa aktivitas,
konsep yang diterima anak hanya sedikit dan mereka akan merasa jenuh. Situasi
demikian dapat membuat mereka mengantuk. Sebaliknya, jika anak tunanetra aktif
dalam kegiatan pembelajaran, maka pengalaman belajar mereka banyak, mereka
memperoleh kepuasan dalam belajar, sehingga akan mendorong rasa ingin tahu yang
tinggi.
5.
Prinsip Individual
Prinsip individual dalam pembelajaran berarti
pengajaran dilaksanakan dengan memperhatikan perbedaan individu anak, potensi
anak, bakat dan kemampuan masing-masing anak. Prinsip individual sangat
dibutuhkan dalam mendidik anak tunanetra. Prinsip ini merupakan ciri khusus
dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Bagi anak tunanetra, prinsip
individual mendorong guru untuk memenuhi tuntutan variasi ketunaan dan
kemampuan anak. Guru dituntut sabar, telaten, ulet, dan kreatif. Guru harus
mengajar satu persatu sesuai dengan perbedaan anak.
2.4 Bentuk
Penyelenggaraan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Hallahan dan Kauffman
(1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak bagi anak berkebutuhan khusus
ada berbagai pilihan, yaitu:
1. Regular
Class Only (Kelas biasa
dengan guru biasa)
2. Regular
Class with Consultation (Kelas
biasa dengan konsultan guru PLB)
3. Itinerant
Teacher (Kelas biasa dengan
guru kunjung)
4. Resource
Teacher (Guru sumber, yaitu
kelas biasa dengan guru biasa, naun dalam beberapa kesempatan anak berada di
ruang sumber dengan guru sumber)
5. Pusat
Diagnostik-Prescriptif
6. Hospital
or Homebound Instruction (Pendidikan
di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk
ke sekolah
biasa)
7. Self-contained
Class (Kelas khusus disekolah
biasa bersama guru PLB)
8. Special
Day School (Sekolah luar
biasa tanpa asrama)
9. Residential
School (Sekolah luar biasa
berasrama)
Bentuk penyelenggaraan pendidikan
menurut Hallahan dan Kauffman (1991) tersebut menunjukkan bahwa anak
berkebutuhan khusus dapat dididik dimana saja, di sekolah, dirumah,
ataupun di rumah
sakit selama memungkinkan. Pilihannya anak berkebutuhan khusus dapat dididik di tempat yang hampir
tidak ada campur tangan Guru PLB sama sekali di kelas reguler sampai
dengan pelayanan pendidikan di sekolah
khusus, seperti SLB untuk tunarungu, SLB untuk tunagrahita, SLB untuk
tunadaksa, dsb.
Bentuk-bentuk layanan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2 besar, yaitu:
1. Pendidikan
Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi
adalah pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan
anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah
penyelenggaran pendidikan yang dilakasanakan secara khusus, dan terpisah dari
penyelenggarakan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak
berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus
untuk anak berkebutukhan khusus. Seperti SDLB,
SMPLB, SMALB.
Sistem pendidikan segregasi
merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanakan, sistem ini
diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu,
adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan
layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan
khusus mereka.
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan
dengan sistem segregasi, yaitu:
a.
Sekolah Luar Biasa
(SLB)
Bentuk
Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB
merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggarakan sekolah mulai dari
tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu
unit sekolah dengan satu kepala sekolah. SLB berkembang sesuai dengan kelainan
yang ada (satu
kelaianan saja), sehingga ada SLB untuk Tunanetra (SLB-A), SLB untuk
tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa
(SLB-D), SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di SLB tesebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan
tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
b. Sekolah Luar
Biasa Ber-asrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama
merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama.
Peserta Didik SLB berasrama tinggal bersama. Pengelolaan asrama menjadi satu
kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat
persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama.bentuk satuan
pendidikannya pun
sama dengan SLB di atas,
sehingga ada SLB-A,B, C, D, dan E.
Pada SLB berasrama, terdapat
kesinambungan program pembelajaran antara yang disekolah dengan yang di asrama,
sehinggan asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu
SLB asrama merupakan pilihan sekolah yang sasuai bagi peserta didik yang
berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
c. Kelas Jauh/Kelas
Kunjung
Kelas Jauh/Kelas Kunjung adalah
lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan anak berkebutuhan
khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggarakan kelas ini
merupakan kebijaksanaan
pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan
belajar.
Dalam penyelenggarakan kelas
jauh/kelas kunjung ini menjadi tanggung jawab SLB terdekat. Tenaga guru yang
bertugas di klas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka
berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant
teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat.
d. Sekolah Dasar
Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan
belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari
berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
Selain tenaga kependidikan, di SDLB
dilengkapi tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter
umum, dokter spesialis, fisioterapi, psikolog, speech therapis, audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan
penjaga sekolah.
Kegiatan belajar dilakukan secara
individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing.
Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendidikan individualisasi. Selain kegiatan
pembejaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan
khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh latihan menulis
dan membaca braille dan orientasi mobilitas, anak
tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi
bunyi dan irama, anak tunagrahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri dan
anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik.
2. Pendidikan
Terpadu/Integrasi/Inklusi
Bentuk layanan pendidikan
terpadu/integrasi/inklusi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa
(normal) di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistam integrasianak
berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Pada sistem keterpaduan secara
penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal
10% dari jumlah keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis
kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat,
dibanding jika guru harus melayani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang
dialami oleh anak berkebutuhan khusus, si sekolah terpadu di sediakan Guru
Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan
khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang
bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986).
Ketiga bentuk tersebut adalah:
1)
Bentuk Kelas Biasa
Dalam
bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar dikelas biasa secara
penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga
disebut keterpaduan penuh.
Dalam
keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi
kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan
khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat
mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan
khusus.
2)
Kelas Biasa dengan
Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak
berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa
serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat
diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan
khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus
(GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai.
Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas.
Keterpaduan pada tingkat ini seing disebut juga keterpaduan sebagian.
3)
Bentuk Kelas Khusus
Dalam
keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan
kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang
melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga
keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada
tingkat ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di
kelas khusus. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial,
artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat
non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu
jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Penutup
3.1
Simpulan
Ada beberapa prinsip
dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya yang
perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu Keseluruhan anak (all
the children), Kenyataan (reality), Program yang dinamis (a
dynamic program), Kesempatan yang sama (equality of opportunity),
dan Kerjasama (cooperative).
Prinsip lain yang juga
perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus, meliputi Prinsip Kasih Sayang, Prinsip Keperagaan, Keterpaduan
dan Keserasian Antar Ranah, Pengembangan Minat dan Bakat, Kemampuan Anak, Model, Pembiasaan,
Latihan, Pengulangan, dan Prinsip Penguatan.
Ada beberapa prinsip
khusus yang berkaitan dengan layanan pendidikan anak tunanetra adalah Prinsip Totalitas, Prinsip
Keperagaan, Prinsip Berkesinambungan, Prinsip Aktivitas, Prinsip Individual.
Bentuk
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terbagi menjadi 3 besar,
yaitu: Pendidikan Segregasi dan Pendidikan Terpadu/Integrasi/Inklusi.
3.2
Saran
Seorang
calon guru Sekolah Dasar perlu memiliki keterampilan mengenal dan memahami para
siswanya. Para siswa tersebut tidak hanya siswa yang normal tetapi juga siswa
berkebutuhan khusus. Calon guru SD harus memiliki pengetahuan dan keterampilan
dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Hal ini perlu diperhatikan agar nantinya mampu mengajar anak-anak berkebutuhan
khusus dengan tepat dan sesuai dengan prinsip layanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus. Ilmu ini berguna untuk dipelajari terlebih
khusus bagi para calon pendidik di daerah terpencil yang fasilitas pendidikan
bagi siswa berkebutuhan khusus sangat minim.
Daftar Pustaka
Afriadi, Yusuf. 2012. Prinsip Pendidikan Anak Berkelainan.
(Online). (http://gudangmakalahku.blogspot.com, diakses 17 Maret 2013)
Divasari. 2012. Prinsip Layanan Pendidikan bagi Anak.
(Online). (http://deevashare.blogspot.com, diakses 17 Maret 2013)
Effendi, Muhammad. 2008. Pengantar Psikopedagogik Anak
Berkelainan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Suparno, Heri Purwanto, dkk. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depdiknas: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar