Senin, 10 Oktober 2016

EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA SECARA HOLISTIK; PEMBELAJARAN BAHASA SECARA HOLISTIK (WHOLE LANGUAGE) DAN EVALUASI DENGAN PENGAMATAN (NONTES) SERTA PENGUKURAN (TES)


MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah:
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas Tinggi

Dosen Pengampu:
Drs. Sukarir Nuryanto, M.Pd.


Disusun oleh:

1.         Maryanti Nengsih. A. S.                        (1401512003)
2.         Claudia Kartikasari                    (1401512019)
3.         Yoseph Krey                              (1401512026)
4.         Anastasya Klau Tetik                 (1401512032)
            

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
Evaluasi Pembelajaran Bahasa secara Holistik

1.         Pembuka
1.1              Latar Belakang
Belajar bahasa pada hakekatnya adalah belajar komunikasi. Pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebenarnya bukan hal yang baru. 
Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengaitkannya dengan topik-topik lain sehingga terbangun kerangka pengetahuan.
Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman siswa. Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Berangkat dari pemahaman di atas, maka pendidikan holistik dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa di SD. Pendekatan ini berfokus pada pemahaman informasi dan komunikasi sehingga kesamaan antara pembelajaran bahasa dan pendekatan holistik dapat disatukan agar terbangun kerangka pengetahuan secara menyeluruh.
Sebelum menerapkan pembelajaran bahasa secara holistik guru harus memahami kondisi murid, kelebihan dan kekurangannya, akrab dengan sastra, memahami GBPP, dan memandang dirinya sebagai pembaca dan penulis.
1.2              Rumusan Masalah
1.        Apakah pengertian dari pembelajaran bahasa secara holistik?
2.        Bagaimanakah strategi di dalam penerapan pembelajaran bahasa secara holistik (whole language)?
3.        Bagaimanakah evaluasi dengan pengamatan (nontes) dan pengukuran (tes)?

1.3              Tujuan
1.        Mengetahui pengertian pembelajaran bahasa secara holistik.
2.        Menjelaskan strategi di dalam penerapan pembelajaran bahasa secara holistik (whole language).
3.        Menjelaskan evaluasi dengan pengamatan (nontes) dan pengukuran (tes).


2.         Pembahasan
2.1       Pembelajaran Bahasa secara Holistik (Whole Language)
Whole language adalah dua kata yang telah terjadi simbol munculnya sebuah gebrakan yang mampu mengubah kurikulum di seluruh dunia. Dua kata yang telah memunculkan berbagai definisi dan reaksi yang hebat (Watson, 1989). Bukan hanya para guru atau pendidik saja yang memperbincangkannya, para administator dan para peneliti pun tiada henti mendiskusikannya, melakukan berbagai penelitian, dan menulis berbagai artikel untuk merumuskan konsep whole language. Oleh karena itu, wajarlah jika terdapat berbagai variasi pendapat tentang konsep whole language yang dicetuskan oleh para ahli selaras dengan bidangnya masing-masing. Dari berbagai variasi tentang konsep whole language tersebut pada dasarnya ada beberapa karakteristik pokok yang mendasari pengembangan konsep whole language sebagaimana dikemukakan oleh Goodman (1986) dan Newman (1985) berikut ini.



2.1.1        Whole Language adalah Sebuah Pandangan Positif tentang Pembelajaran
Konsep whole language beranjak dari pernyataan Dewey tentang hakekat pembelajar. Para penganut whole language berpendapat bahwa pembelajar memilki kekuatan, kesanggupan, dan keinginan untuk belajar. Pembelajar adalah pribadi yang kreatif. Ia mampu menyusun, menciptakan, dan menemukan pemecahan terhadap berbagai persoalan secara aktif. Piaget dan kawan-kawannya telah membuktikan dalam sebuah penelitiannya bahwa anak-anak terlibat secara aktif dalam memahami dunianya dan berusaha mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Lebih lanjut Piaget menjelaskan bagaimana anak-anak memahami suatu konsep, ide, dan moral. Seorang anak tidak menunggu seseorang untuk menstansmisikan pengetahuannya kepada mereka tetapi mereka belajar melalui aktivitas dan keterlibatan mereka dengan objek-objek di luar dirinya dan menyusun kategori-kategori pemikiran mereka sendiri sementara mereka mengorganisasikan dunianya. Anak-anak berusaha untuk mengembangkan konsep-konsep mereka sendiri yang terkadang terlihat aneh menurut jalan pikiran orang dewasa.
Para penganut whole language mengakui adanya perbedaan di antara pembelajar, dilihat dari segi budaya, sistem nilai, pengalaman, kebutuhan, minat, dan bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut bersifat personal sebagai refleksi dari keberagaman manusia, bisa juga bersifat sosial sebagai refleksi dari suku-suku, budaya, dan sistem budaya dari kelompok sosial di mana pembelajar berada. Oleh karena itu, guru-guru di kelas whole language menghargai perbedaan di antara para pembelajar. Pembelajar diberi kewenangan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari dan mendapat dukungan penuh dalam mengembangkan dan memenuhi tujuan pembelajarannya.




2.1.2        Whole Language memberikan Penegasan tentang Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Para guru penganut whole language menerima pandangan bahawa guru sebagai mediator yang menyediakan fasilitas kepada pembelajar dalam melaksanakan transaksi dengan dunia luar. Guru adalah tenaga profesional yang memahami kondisi pembelajar, teori belajar, dan kegiatan belajar mengajar. Mereka mendukung kegiatan pembelajaran tetapi mereka tidak bertindak sebagai pengontrol dalam pembelajaran. Mereka dengan tegas menolak definisi yang menyebutkan bahwa guru adalah teknisi yang mengelola berbagai macam teknologi untuk disajikan kepada pembelajar. Meskipun para guru di kelas-kelas whole language adalah yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan para pembelajar namun mereka tetap memiliki kewenangan dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan memilih sumber-sumber belajar yang diperlukan oleh pembelajar.
Di kelas-kelas whole language, guru mengajar dengan dan dari pembelajar, guru hanya menyampaikan pengetahuan kepada pembelajar tetapi juga bersama-sama dengan pembelajar memecahkan berbagai persoalan dan mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan. Para guru penganut whole language menolak model-model pengajaran efektif yang bersifat membatasi karena mereka memandang bahwa mengajar jauh lebih kompleks dan komprehensif dari sekedar menerapkan model-model tertentu.

2.1.3        Whole Language memandang Bahasa sebagai Pusat Pembelajaran
Keberadaan bahasa disebabkan oleh dua alasan. Pertama, karena manusia sanggup berpikir secara simbolik, mereka mempresentasikan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mereka mampu menciptakan sistem-sistem semiotik. Kedua, karena manusia adalah makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kehidupannya. Komunikasi sosial antarmanusia memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Dengan dua alasan tersebut, jelaslah bahwa bahasa bagi manusia adalah pusat komunikasi dan berpikir. Vigotsky (1978) menunjukkan bahwa manusia menginternalisasi bahasa dari interaksi sosial. Dan Halliday (1975) menyebut belajar bahasa sebagai “belajar bagaimana memaknai” karena dalam proses belajar bahasa, manusia mempelajari makna sosial bahasa yang terjadi secara simultan, yaitu belajar bahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa.
Baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, bahasa lisan dan tulis akan lebih baik dan mudah dipelajari dalam akivitas berbahasa yang otentik dan dalam peristiwa berbahasa sesuai dengan fungsi bahasa yang sesungguhnya. Dengan alasan ini maka whole language program menolak pandangan bahwa perkembangan bahasa berawal dari bagian ke keseluruhan. Hal ini berlaku juga untuk aktivitas membaca dan menulis permulaan. Selain itu, pengajaran membaca, menulis, berbicara, dan menyimak tidak terpisah tetapi terpadu.

2.1.4        Whole Language menerapkan Kurikulum Ganda
Halliday (1984) menyimpulkan bahwa sebenarnya kita belajar melalui bahasa sementara kita belajar bahasa. Kesimpulan inilah yang mendasari penyusunan kurikulum whole language, yaitu kurikulum ganda, setiap aktivitas, pengalaman, atau unit memiliki kesepakatan dalam pengembangan linguistik dan sekaligus kognitif. Bahasa dan pikiran berkembang, namun pada saat yang bersamaan pengetahuan dan konsep dikembangkan sementara skema dibangun.
Para guru penganut whole language menggunakan unit tematik untuk menerapkan penggunaan kurikulum ganda. Mereka bertindak sebagai “pengamat anak-anak”, memonitor perkembangan bahasa anak-anak pada saat anak-anak atau pembelajar memecahkan persoalan atau menjawab berbagai pertanyaan. Sebenarnya ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan karena whole language hanya menegaskan kembali konsep “belajar sambil bekerja” yang dikemukakan oleh Dewey dan Metode Proyek yang dikembangkan oleh Willian Heard Kilpatrick (dalam Goodman, 1989). Para penganut whole language memperbaruinya dengan berdasarkan pada teori-teori dari hasil penelitian, dan kolaborasi merupakan hal-hal yang sangat mendasar. Istilah whole language itu sendiri memilki dua makna, yakni tidak dibagi atau tidak terpisah, dan terpadu.
Pembelajaran whole language mempunyai beberapa strategi dalam pelaksanaannya. Strategi itu antara lain adalah sebagai berikut:
1.        Pencelupan (immersion)
Guru menciptakan lingkungan yang memungkinkan pembelajar melaksanakan program celup dalam kegiatan pembelajaran mereka   sehari-hari dengan menggunakan: bahasa guru, bahasa teman sebaya, bahasa yang terdapat dalam buku-buku, percakapan informal, bahasa di kelas formal, bahasa yang terdapat dalam lagu-lagu dan berbagai cerita.
2.        Demonstrasi/peragaan
Guru secara aktif terlibat dalam peragaan pemakaian bahasa, sebagai sumber pengayaan dan data bagi pembelajar dalam memformulasikan bunyi-bunyi, struktur kalimat, mengembangkan makna, dan memperoleh berbagai konvensi sosial pemakaian bahasa di masyarakat (pragmatik).
Membaca nyaring adalah salah satu aktivitas yang dapat dilakukan oleh guru. Materi bacaan diambil dari buku-buku sastra yang bagus dengan struktur bahasa yang sederhana dan dekat dengan bahasa pembelajar, buku-buku cerita dengan struktur yang kompleks pun perlu dipilih. Dengan menyimak bahasa yang terdapat dalam cerita, pembelajar mencoba memproduksi bahasa mereka sendiri dan akhirnya kelak mereka dapat memahami struktur bahasa yang mereka gunakan. Demikian juga ilustrasi dan peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam buku cerita, meskipun menggunakan struktur bahasa yang kompleks namun semua berada dalam suatu konteks, sehingga memungkinkan pembelajar menangkap maknanya. Strikcklan (1973) membuktikan bahwa program membaca nyaring yang dilaksanakan di taman kanak-kanak mampu meningkatkan kemampuan anak-anak Afrika-Amerika dalam menggunakan Bahasa Inggris standar.
Buku-buku alfabet dan buku-buku gambar tanpa kata, buku-buku nonfiksi, lagu-lagu, dan buku-buku yang selaras dengan pengalaman pembelajar, buku-buku dengan  berbagai gambar yang indah dan menarik dapat dijadikan bahan untuk kegiatan membaca nyaring di kelas-kelas awal. Buku-buku tersebut juga dapat dijadikan saran untuk melibatkan siswa dalam kegiatan percakapan di antara mereka.
3.        Keterlibatan
Pembelajar harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Cambourne menemukan bahwa pembelajar akan senang terlibat dalam kegiatan pembelajaran apabila: a)  mereka merasa yakin pada kemampuan mereka sendiri, b) mereka percaya bahwa apa yang dilakukan akan berguna untuk kehidupannya kelas, c) mereka yakin bahwa aktivitas yang dilakukan menyenangkan, dan d) mereka merasa aman, tidak merasa takut jika berbuat kesalahan.
Perasaan “aman sangat penting dalam pembelajaran bahasa. Pembelajar yang berbuat kesalahan kemudian ditertawakan atau diejek oleh teman-temannya, atau ditegur, disalahkan oleh guru di hadapan teman-temannya akan menjadikan Ia enggan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran karena malu dan takut selalu menghantuinya. Di kelas-kelas whole language diharapkan perasaan aman dalam diri pembelajar ini harus dijaga agar pembelajar berani mencoba hal-hal baru yang menantang.
4.        Harapan
Dalam program whole language, guru seharusnya memiliki harapan yang tinggi bahwa pembelajar akan dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran selaras dengan pola atau fase perkembangan mereka. Guru harus mengkomunikasikan kepada pembelajar bahwa mereka percaya para pembelajar mampu melaksanakan semua aktivitas pembelajaran. Harapan yang tinggi ini perlu selalu dicanangkan namun perlu diingat bahwa harapan-harapan tersebut harus bersifat realistik dan selaras dengan fase perkembangan belajar.
5.        Tanggungjawab
Keterlibatan pembelajar dalam kegiatan pembelajaran akan semakin meningkat jika tanggung jawab, aproksimasi, dan respon juga hadir alam kegiatan pembelajaran. Pembelajar harus diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka pelajari. Tidak seorang pun dapat secara pasti apa yang seharusnya dipelajari kemudian karena lingkungan dan bakat pembelajar menjadi kendalanya. Pembelajar dan lingkungan yang berbeda kemungkinan memiliki kecenderungan belajar yang berbeda. Tanggung jawab adalah tentang kapan dan bagaimana mereka harus belajar.
6.        Pemakaian
Belajar bahasa diawali dengan memahami bahasa tersebut, mencoba menggunakannya dan pembelajar juga mempelajari bahasa tersebut pada saat bahasa tersebut digunakan. Ketiga aktivitas tersebut terjadi secara serentak. Ide inilah yang dipraktekkan di kelas whole language. Di kelas-kelas whole language, praktek penggunaan bahasa biasanya dilaksanakan secara terpisah dan ditekankan pada ketepatan respon. Sebaliknya, di kelas whole language praktek penggunaan bahasa dalam konteks yang bermakna lebih ditekankan. Guru melibatkan pembelajar dalam akitivitas pemakaian bahasa.
Kesempatan untuk berbicara di depan kelas merupakan kondisi yang harus selalu diciptakan karena manfaat bagi pembelajar untuk mempelajari aspek-aspek pragmatik dan aspek-aspek lainnya dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa. Untuk mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa ini pembelajar memerlukan konteks yang bermakana, misalnya berbicara dengan guru dan kelompok, bermain peran, bercerita, membawa sesuatu dari rumah dan menceritakannya di kelas.
7.        Aproksimasi
Aproksimasi sangat penting dalam belajar berbicara. Orangtua biasanya menikmati dan senang mendengarkan ucapan-ucapan seorang anak yang berbicara dengan tata bahasa dan ucapan yang kurang tepat. Orangtua tahu bahwa itu adalah suatu kekeliruan yang merupakan pertanda bahwa Ia sedang dalam proses belajar atau pertanda bahwa anak sedang bereksperimen untuk menggunakan bahasa yang jauh lebih kompleks.
Konsep belajar bahasa seperti itulah yang diterapkan di kelas-kelas whole language. Para guru yakin bahwa kekeliruan merupakan hal yang wajar dalam proses belajar bahasa. Kekeliruan yang dibuat oleh pembelajar merupakan pertanda bahwa pembelajar sedang dalam proses belajar.
8.        Respon dan umpan balik
Respon dan umpan balik yang diberikan oleh guru memiliki peranan penting dalam proses aproksimasi. Hal ini karena pembelajar yang mencoba menggunakan bahasa dengan menggunakan cara-cara mereka sendiri untuk menemukan makna tidak akan takut berbuat salah. Keterlibatan guru secara aktif dalam percakapan dengan pembelajar dapat menjadi model untuk pengembangan sintaksis, semantik, dan pragmatik. Model-model kebahasaan yang ditampilkan oleh guru dapat membantu pembelajar dalam menumbuhkembangkan kemampuan berbahasa mereka.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran holistik (whole language) mempunyai ciri-ciri tertentu yang antara lain: respon yang diberikan oleh guru di kelas hendaknya tidak bersifat mengancam dan menakutkan. Artinya respon tersebut tidak boleh menjadikan siswa merasa malu atau takut untuk melakukan kegiatan berbahasa pada tahap berikutnya. Respon atau umpan balik yang diberikan oleh guru hendaknya dikaitkan dengan aktivitas bermakna.

2.2         Prinsip-prinsip Pendekatan Whole Language
1.        Anak tumbuh dan belajar lebih siap ketika mereka secara aktif mengajak dirinya sendiri untuk belajar.
2.        Strategi dan kemahiran mereka pada proses kompleks seperti membaca dan menulis namun harus difasilitasi dengan baik oleh guru. Mereka perlu didukung secara psikologi.
3.        Untuk membangun munculnya kemampuan membaca dan menulis, siswa perlu mencoba untuk meniru strategi orang tua atau guru.
4.        Pengajaran dengan whole language didasarkan pada pengamatan bahwa banyak hal yang dipelajari pada diri siswa, sehingga guru perlu memberikan kesempatan dan mendorong ke dalam proses belajar.
5.        Pembelajaran dengan whole language merangsang siswa untuk belajar secara mandiri. Tugas guru memberikan bimbingan kepada siswa.
6.        Guru dan siswa bersama-sama belajar dan mengambil resiko serta mengambil keputusan bersama dalam belajar.
7.        Guru mengenalkan interaksi sosial antara siswa, berdiskusi, berbagi ide, bekerjasama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam belajar.
8.        Guru memberikan materi kepada siswa berupa tes agar mampu membedakan kemampuan yang belum optimal serta mendorong siswa untuk menemukan dan mengkritik kelemahan sendiri.
9.        Penilaian disatukan dengan pembelajaran.
10.    Guru membangun dan mengembangkan jenis tingkah laku serta sikap yang diperlukan dalam kemajuan belajar siswa.

2.3         Strategi Pembelajaran Holistik
1.        Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar.
2.        Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkret, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated learning)
3.        Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
4.        Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia.
5.        Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good.


2.4         Evaluasi dengan Pengamatan (Nontes) dan Pengukuran (Tes)
Tidak ada suatu tindakan, kegiatan, atau tugas tunggal yang dapat memberikan gambaran hasil belajar murid secara lengkap. Hanya berbagai pengukuran yang mempelajari secara hati-hati dalam suatu periode tertentu yang dapat memberikan gambaran yang lengkap dan tepat mengenai kemajuan, keberhasilan, dan kebutuhan murid (Routman, 1991:307). Berikut dikemukakan profil pengumpulan data evaluasi pembelajaran bahasa.


PROSES
HASIL
P
Catatan anekdotal
Tanggapan terhadap pertanyaan
E
Wawancara
Tanggapan terhadap sastra
N
Percakapan
Catatan refleksi belajar
G
Tanggapan kelompok
Majalah sekolah
A
Menceritakan kembali
Evaluasi diri
M
Partisipasi dalam diskusi
Hasil penyelesaian tugas
A
Berbagai pengalaman membaca
Pertanyaan buatan murid
T
Berbagai pengalaman menulis
Buku catatan
A
Contoh catatan
Kumpulan karangan murid
N
Contoh karangan
Catatan buku yang dibaca

Draft, revisi, suntingan
Catatan kosakata

Pemecahan masalah
Contoh tulisan


Tanggapan terhadap pementasan portofolio


KONTEKSTUAL
NONKONTEKSTUAL
P
Ceklis, inventori
Tes baku
E
Tes buatan guru
Tes kemampuan minimal
N
Latihan menyunting
Tes sekolah, nasional
G
Latihan kelas
Tes acuan norma
U
Survei minat/sikap
Tes acuan kriteria
K
Tes formatif
Tes huruf, bunyi, kata
U
Dikte
Tes ejaan
R
Penilaian karangan
Tes diagnostik
A
Evaluasi secara informal
Lembar kerja
N


Sebagian besar bentuk evaluasi yang telah digunakan dalam evaluasi pembelajaran bahasa yang bersifat holistik berupa evaluasi informal. Pengamatan dan keputusan yang dibuat oleh guru, khususnya mengenai proses pembelajaran, merupakan alat yang paling sahih untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang pembelajaran (Routman, 1991:308).

2.4.1        Strategi Pengamatan atau Evaluasi Informal
Perlu diingat bahwa profil pengumpulan data evaluasi seharusnya tidak digunakan sebagai menu atau daftar kegiatan penilaian, tetapi sebagai bagian dari kerangka pembelajaran bahasa yang lebih luas. Murid hendaknya dibimbing menjadi pribadi yang memanfaatkan kemampuan membaca dan menulis untuk berbagai tujuan yang bermakna.
1.        Catatan anekdotal
Catatan anekdotal adalah catatan pengamatan informal, yang menggambarkan perkembangan bahasa maupun perkembangan sosial, kebutuhan, kelebihan, kekurangan, kemajuan, gaya belajar, keterampilan, dan strategi yang digunakan oleh pembelajar atau apa saja yang tampak bermakna ketika dilakukan pengamatan. Catatan anekdotal dapat dibuat dalam berbagai kegiatan, misalnya menulis jurnal, memainkan drama, membaca nyaring, diskusi kelompok, pengucapan, kerja mandiri, dan menulis. Latar pembuatan catatan dapat berupa kelas secara keseluruhan, kelompok kecil, atau individu. Biasanya catatan anekdotal mengenai keadaan murid secara individual, murid yang berhadapan satu persatu dengan guru, guru mengamati murid atau anak bekerja dalam konteks tertentu.





Contoh:
Sikap
8 Maret 1998            : senang menulis puisi
19 Maret 1998          : menggunakan kata tanya dengan tepat, menulis percakapan secara rinci.

Kejelasan Ekpresi
9 Maret 1998            : mudah dibaca, mudah dipahami
20 Maret 1998          : jelas

Revisi dan Penyuntingan (Kesediaan Berubah)
10 Maret 1998          : bersedia memperbaiki dan mengadakan beberapa perubahan, memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyunting dan memberikan tanda-tanda, cenderung menghapus.

Mekanik (Pengunaan Ejaan)
14 Maret 1998          : melakukan beberapa kesalahan ejaan.
5 April 1998             : kemampuan mekanik meningkat, tahu kapan harus menggunakan tanda baca dan huruf kapital.

2.        Wawancara dan survei
Wawancara satu demi satu merupakan cara yang ideal untuk mengetahui keadaan murid. Murid-murid cenderung memberikan tanggapan tertulis secara minimal. Wawancara secara personal dapat memancing tanggapan dan memperoleh informasi yang mencerminkan sikap, strategi, kesenangan, dan tingkat kepercayaan diri anak dalam waktu yang singkat.
Contoh pertanyaan yang perlu diajukan pada murid:
1)        Dimana kamu membaca kalau di rumah?
2)        Seberapa lama kamu menonton TV?
3)        Acara apa saja yang kamu senangi?
3.        Konferensi atau diskusi
Konferensi atau diskusi merupakan alat evaluasi yang baik. Dengan mengikuti keinginan murid, tidak memaksakan keinginan guru untuk memahami murid-murid sebagai pembelajar dan membimbing mereka menghubung-hubungkan kemampuan mereka berbahasa.
4.        Ceklis
Guru dapat menggunakan ceklis secara efektif dan bijaksana. Ceklis biasanya dikombinasikan dengan komentar hasil pengamatan untuk mengecek perilaku melek huruf (pengetahuan tentang bunyi, tulisan, dan konsep tentang tulisan).
5.        Menceritakan kembali
Murid diminta menceritakan atau menuliskan kembali bacaan yang telah dibaca. Menceritakan kembali dapat digunakan untuk menolong murid dalam keterampilan berbahasa lisan dan untuk meningkatkan kemampuan memahami bacaan.
6.        Tes/survei diagnostik
Tes/survei diagnostik digunakan untuk memilih anak-anak yang perlu diberi program pembelajaran tambahan.
7.        Membaca buku
Salah satu cara mengevaluasi membaca nyaring yang tidak menakutkan adalah berupa menyuruh anak memilih bagian atau bab-bab tertentu dari sebuah buku yang disenangi.

3.    Penutup
3.1              Simpulan
Konsep whole language beranjak dari pernyataan Dewey tentang hakekat pembelajar. Para penganut whole language berpendapat bahwa pembelajar memilki kekuatan, kesanggupan, dan keinginan untuk belajar. Pembelajar adalah peribadi yang kreatif. Para guru penganut whole language menerima pandangan bahawa guru sebagai mediator yang menyediakan fasilitas kepada pembelajar dalam melaksanakan transaksi dengan duni luar. Guru adalah tenaga profesioanal yang memahami kondisi pembelajar, teori belajar, dan kegiatan belajar mengajar. Para guru penganut whole language menggunakan unit tematik untuk menerapkan penggunaan kurikulum ganda.
Pengamatan dan keputusan yang dibuat oleh guru, khususnya mengenai proses pembelajaran, merupakan alat yang paling sahih untuk mengumpulkan dan menganalisi data tentang pembelajaran (Routman, 1991:308). Strategi evaluasi pengamatan terbagi menjadi catatan anekdotal, wawancara dan survei, konferensi atau diskusi, ceklis, menceritakan kembali, tes/survei diagnostik, dan membaca buku.

3.2              Saran
1.        Di dalam menerapkan whole language, guru diharapkan bisa menerapkan pembelajaran dengan pendekatan whole language di sekolah. Guru hendaknya lebih kreatif dalam menyusun rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan bisa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa.
2.        Bagi guru data evaluasi seharusnya tidak digunakan sebagai menu atau daftar kegiatan penilaian tetapi sebagai bagian dari kerangka pembelajaran bahasa yang lebih luas. Murid hendaknya dibimbing menjadi pribadi yang memanfaatkan kemampuan membaca dan menulis untuk berbagai tujuan yang bermakna.














Daftar Pustaka

Rofi’uddin. Ahmad dan Darmiyati Zuhdi. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas Tinggi. Malang: Universitas Negeri Malang.
hariyanto-untuksenja.blogspot.com

http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/TA-KSDP/article/view/13367

Tidak ada komentar: