MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah:
Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia Kelas Tinggi
Dosen Pengampu:
Drs.
Sukarir
Nuryanto, M.Pd.
Disusun oleh:
1.
Maryanti
Nengsih. A. S. (1401512003)
2.
Claudia
Kartikasari (1401512019)
3.
Yoseph Krey (1401512026)
4.
Anastasya Klau Tetik (1401512032)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
2014
Evaluasi Pembelajaran
Bahasa secara Holistik
1.
Pembuka
1.1
Latar Belakang
Belajar
bahasa pada hakekatnya
adalah belajar komunikasi. Pembelajaran
bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi,
baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum
2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu
membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.
Pendidikan holistik merupakan
suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya
seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui
hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual.
Secara historis, pendidikan holistik sebenarnya bukan hal yang
baru.
Pembelajaran holistik (holistic learning)
adalah pendekatan pembelajaran
yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengaitkannya dengan topik-topik lain
sehingga terbangun kerangka pengetahuan.
Dalam pembelajaran holistik,
diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek
pribadinya (pikiran, tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengalaman
siswa. Sekolah
hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan
yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting,
perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Berangkat dari
pemahaman di atas, maka pendidikan holistik dapat diterapkan dalam pembelajaran
bahasa di SD. Pendekatan ini berfokus pada pemahaman informasi dan komunikasi
sehingga kesamaan antara pembelajaran bahasa dan pendekatan holistik dapat
disatukan agar terbangun kerangka pengetahuan secara menyeluruh.
Sebelum menerapkan
pembelajaran bahasa secara holistik guru harus memahami kondisi murid,
kelebihan dan kekurangannya, akrab dengan sastra, memahami GBPP, dan memandang
dirinya sebagai pembaca dan penulis.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian
dari pembelajaran bahasa secara holistik?
2.
Bagaimanakah
strategi di dalam penerapan pembelajaran bahasa secara holistik (whole language)?
3.
Bagaimanakah
evaluasi dengan pengamatan (nontes) dan pengukuran (tes)?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian pembelajaran bahasa secara holistik.
2.
Menjelaskan
strategi di dalam penerapan pembelajaran bahasa secara holistik (whole language).
3.
Menjelaskan
evaluasi dengan pengamatan (nontes) dan pengukuran (tes).
2.
Pembahasan
2.1 Pembelajaran Bahasa secara Holistik (Whole Language)
Whole
language adalah dua kata yang telah terjadi simbol
munculnya sebuah gebrakan yang mampu mengubah kurikulum di seluruh dunia. Dua kata yang
telah memunculkan berbagai definisi
dan reaksi yang hebat (Watson, 1989). Bukan hanya para guru atau pendidik saja
yang memperbincangkannya, para administator dan para peneliti pun tiada henti
mendiskusikannya, melakukan berbagai penelitian, dan menulis berbagai artikel
untuk merumuskan konsep whole language.
Oleh karena itu, wajarlah jika terdapat berbagai variasi pendapat tentang
konsep whole language yang dicetuskan
oleh para ahli selaras dengan bidangnya
masing-masing. Dari
berbagai variasi tentang konsep whole
language tersebut pada dasarnya ada beberapa karakteristik pokok yang
mendasari pengembangan konsep whole language
sebagaimana dikemukakan oleh Goodman (1986) dan Newman (1985) berikut ini.
2.1.1
Whole
Language adalah
Sebuah Pandangan Positif tentang
Pembelajaran
Konsep whole language beranjak
dari pernyataan Dewey tentang hakekat pembelajar. Para penganut whole language berpendapat
bahwa pembelajar memilki kekuatan, kesanggupan, dan keinginan untuk
belajar. Pembelajar adalah pribadi yang kreatif. Ia mampu menyusun,
menciptakan, dan menemukan pemecahan terhadap berbagai persoalan secara aktif.
Piaget dan kawan-kawannya telah membuktikan dalam sebuah penelitiannya bahwa
anak-anak terlibat secara aktif dalam memahami dunianya dan berusaha mencoba
untuk menjawab berbagai pertanyaan dan memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapinya. Lebih lanjut Piaget menjelaskan bagaimana anak-anak memahami suatu konsep, ide, dan moral. Seorang anak
tidak menunggu seseorang untuk menstansmisikan pengetahuannya kepada mereka
tetapi mereka belajar melalui aktivitas dan keterlibatan mereka dengan
objek-objek di luar dirinya dan menyusun kategori-kategori pemikiran mereka
sendiri sementara mereka mengorganisasikan dunianya. Anak-anak berusaha untuk
mengembangkan konsep-konsep
mereka sendiri yang terkadang
terlihat aneh menurut jalan pikiran orang dewasa.
Para
penganut whole language mengakui
adanya perbedaan di antara pembelajar, dilihat dari segi budaya, sistem nilai,
pengalaman, kebutuhan, minat, dan bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut bersifat
personal sebagai refleksi dari keberagaman manusia, bisa juga bersifat sosial
sebagai refleksi dari suku-suku, budaya, dan sistem budaya dari kelompok sosial
di mana pembelajar berada. Oleh karena itu, guru-guru di kelas whole language menghargai perbedaan
di antara para pembelajar. Pembelajar diberi kewenangan untuk bertanggung jawab
terhadap apa yang mereka pelajari dan mendapat dukungan penuh dalam
mengembangkan dan memenuhi tujuan pembelajarannya.
2.1.2
Whole
Language memberikan
Penegasan tentang
Peran Guru dalam
Proses Pembelajaran
Para
guru penganut whole language menerima
pandangan bahawa guru sebagai mediator yang menyediakan fasilitas kepada
pembelajar dalam melaksanakan transaksi dengan dunia luar. Guru adalah
tenaga profesional yang memahami kondisi pembelajar, teori belajar, dan
kegiatan belajar mengajar. Mereka mendukung kegiatan pembelajaran tetapi mereka
tidak bertindak sebagai pengontrol dalam pembelajaran. Mereka dengan tegas
menolak definisi yang menyebutkan bahwa guru adalah teknisi yang mengelola
berbagai macam teknologi untuk disajikan kepada pembelajar. Meskipun para guru
di kelas-kelas whole language adalah
yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan para pembelajar namun mereka tetap
memiliki kewenangan dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan memilih
sumber-sumber belajar yang diperlukan oleh pembelajar.
Di
kelas-kelas whole language, guru
mengajar dengan dan dari pembelajar, guru hanya menyampaikan pengetahuan kepada
pembelajar tetapi juga bersama-sama dengan pembelajar memecahkan berbagai
persoalan dan mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan. Para guru penganut whole language menolak model-model
pengajaran efektif yang bersifat membatasi karena mereka memandang bahwa
mengajar jauh lebih kompleks dan komprehensif dari sekedar menerapkan
model-model tertentu.
2.1.3
Whole
Language memandang
Bahasa sebagai
Pusat Pembelajaran
Keberadaan
bahasa disebabkan oleh dua alasan. Pertama, karena manusia sanggup berpikir
secara simbolik, mereka mempresentasikan sesuatu dengan sesuatu yang lain,
mereka mampu menciptakan sistem-sistem semiotik. Kedua, karena manusia adalah
makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam
kehidupannya. Komunikasi sosial antarmanusia memiliki peranan penting dalam
kehidupan manusia. Dengan dua alasan tersebut, jelaslah bahwa bahasa bagi
manusia adalah pusat komunikasi dan berpikir. Vigotsky (1978) menunjukkan bahwa
manusia menginternalisasi bahasa dari interaksi sosial. Dan Halliday (1975) menyebut
belajar bahasa sebagai
“belajar bagaimana memaknai” karena dalam proses belajar bahasa, manusia
mempelajari makna sosial bahasa yang terjadi secara simultan, yaitu belajar
bahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa.
Baik
di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, bahasa lisan dan tulis akan lebih
baik dan mudah dipelajari dalam akivitas berbahasa yang otentik dan dalam
peristiwa berbahasa sesuai dengan fungsi bahasa yang sesungguhnya. Dengan
alasan ini maka whole
language program menolak pandangan bahwa perkembangan bahasa berawal
dari bagian ke keseluruhan. Hal ini berlaku juga untuk aktivitas membaca dan
menulis permulaan. Selain itu, pengajaran membaca, menulis, berbicara, dan
menyimak tidak terpisah tetapi terpadu.
2.1.4
Whole
Language menerapkan
Kurikulum Ganda
Halliday
(1984) menyimpulkan bahwa sebenarnya kita belajar melalui bahasa sementara kita
belajar bahasa. Kesimpulan inilah yang mendasari penyusunan kurikulum whole language, yaitu kurikulum ganda,
setiap aktivitas, pengalaman, atau unit memiliki kesepakatan dalam pengembangan
linguistik dan sekaligus kognitif. Bahasa dan pikiran berkembang, namun pada
saat yang bersamaan pengetahuan dan konsep dikembangkan sementara skema
dibangun.
Para
guru penganut whole language menggunakan
unit tematik untuk menerapkan penggunaan kurikulum ganda. Mereka bertindak
sebagai “pengamat anak-anak”, memonitor perkembangan bahasa anak-anak pada saat
anak-anak atau pembelajar memecahkan persoalan atau menjawab berbagai
pertanyaan. Sebenarnya ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan karena whole language hanya menegaskan
kembali konsep “belajar sambil bekerja” yang dikemukakan oleh Dewey dan Metode
Proyek yang dikembangkan oleh Willian Heard Kilpatrick (dalam Goodman, 1989). Para penganut whole language memperbaruinya
dengan berdasarkan pada teori-teori dari hasil penelitian, dan kolaborasi
merupakan hal-hal yang sangat mendasar. Istilah whole
language itu sendiri memilki dua makna, yakni tidak dibagi atau tidak terpisah, dan
terpadu.
Pembelajaran whole language mempunyai beberapa
strategi dalam pelaksanaannya. Strategi itu antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Pencelupan (immersion)
Guru
menciptakan lingkungan yang memungkinkan pembelajar melaksanakan program celup
dalam kegiatan pembelajaran mereka sehari-hari dengan menggunakan:
bahasa guru, bahasa teman sebaya, bahasa yang terdapat dalam buku-buku,
percakapan informal, bahasa di kelas formal, bahasa yang terdapat dalam
lagu-lagu dan berbagai cerita.
2.
Demonstrasi/peragaan
Guru
secara aktif terlibat dalam peragaan pemakaian bahasa, sebagai sumber pengayaan
dan data bagi pembelajar dalam memformulasikan bunyi-bunyi, struktur kalimat,
mengembangkan makna, dan memperoleh berbagai konvensi sosial pemakaian bahasa
di masyarakat
(pragmatik).
Membaca
nyaring adalah salah satu aktivitas yang dapat dilakukan oleh guru. Materi
bacaan diambil dari
buku-buku sastra yang bagus dengan struktur bahasa yang sederhana dan dekat
dengan bahasa pembelajar, buku-buku cerita dengan struktur yang kompleks pun perlu
dipilih. Dengan menyimak bahasa yang terdapat dalam cerita, pembelajar mencoba
memproduksi bahasa mereka sendiri dan akhirnya kelak mereka dapat memahami struktur bahasa yang
mereka gunakan. Demikian juga ilustrasi dan peristiwa-peristiwa yang dilukiskan
dalam buku cerita, meskipun menggunakan struktur bahasa yang kompleks namun
semua berada dalam suatu konteks, sehingga memungkinkan pembelajar menangkap
maknanya. Strikcklan (1973) membuktikan bahwa program membaca nyaring yang
dilaksanakan di taman kanak-kanak mampu meningkatkan kemampuan anak-anak Afrika-Amerika
dalam menggunakan Bahasa
Inggris standar.
Buku-buku
alfabet dan buku-buku
gambar tanpa kata, buku-buku nonfiksi, lagu-lagu, dan buku-buku yang
selaras dengan pengalaman pembelajar, buku-buku dengan berbagai gambar
yang indah dan menarik dapat dijadikan bahan untuk kegiatan membaca nyaring di
kelas-kelas awal. Buku-buku tersebut juga dapat dijadikan saran untuk
melibatkan siswa dalam kegiatan percakapan di antara mereka.
3.
Keterlibatan
Pembelajar
harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Cambourne menemukan
bahwa pembelajar akan senang terlibat dalam kegiatan pembelajaran apabila: a)
mereka merasa yakin pada kemampuan mereka sendiri, b) mereka percaya
bahwa apa yang dilakukan akan berguna untuk kehidupannya kelas, c) mereka yakin
bahwa aktivitas yang dilakukan menyenangkan, dan d) mereka merasa aman, tidak
merasa takut jika berbuat kesalahan.
Perasaan
“aman” sangat penting dalam
pembelajaran
bahasa. Pembelajar yang berbuat kesalahan kemudian ditertawakan atau diejek
oleh teman-temannya, atau ditegur, disalahkan oleh guru di hadapan teman-temannya akan menjadikan Ia enggan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran karena malu dan takut selalu
menghantuinya. Di kelas-kelas whole language diharapkan perasaan
aman dalam diri pembelajar ini harus dijaga agar pembelajar berani mencoba
hal-hal baru yang menantang.
4.
Harapan
Dalam
program whole language, guru
seharusnya memiliki harapan yang
tinggi bahwa pembelajar akan dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran selaras
dengan pola atau fase perkembangan mereka. Guru harus mengkomunikasikan kepada
pembelajar bahwa mereka percaya para pembelajar mampu melaksanakan semua
aktivitas pembelajaran.
Harapan yang tinggi ini perlu selalu dicanangkan namun perlu diingat bahwa harapan-harapan
tersebut harus bersifat realistik
dan selaras dengan fase perkembangan belajar.
5.
Tanggungjawab
Keterlibatan
pembelajar dalam kegiatan pembelajaran akan semakin meningkat jika tanggung
jawab, aproksimasi, dan respon juga hadir alam kegiatan pembelajaran.
Pembelajar harus diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka pelajari.
Tidak seorang pun dapat secara pasti apa yang seharusnya dipelajari kemudian
karena lingkungan dan bakat pembelajar menjadi kendalanya. Pembelajar dan
lingkungan yang berbeda kemungkinan memiliki kecenderungan belajar yang
berbeda. Tanggung jawab adalah tentang kapan dan bagaimana mereka harus
belajar.
6.
Pemakaian
Belajar
bahasa diawali dengan memahami bahasa tersebut, mencoba menggunakannya dan
pembelajar juga mempelajari bahasa tersebut pada saat bahasa tersebut
digunakan. Ketiga aktivitas tersebut terjadi secara serentak. Ide inilah yang
dipraktekkan di kelas whole language.
Di kelas-kelas whole language,
praktek penggunaan bahasa biasanya dilaksanakan secara terpisah dan ditekankan
pada ketepatan respon. Sebaliknya, di kelas whole language praktek
penggunaan bahasa dalam konteks yang bermakna lebih ditekankan. Guru melibatkan
pembelajar dalam akitivitas pemakaian bahasa.
Kesempatan
untuk berbicara di depan kelas merupakan kondisi yang harus selalu diciptakan
karena manfaat bagi pembelajar untuk mempelajari aspek-aspek pragmatik dan
aspek-aspek lainnya dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa. Untuk
mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa ini pembelajar memerlukan konteks
yang bermakana, misalnya berbicara dengan guru dan kelompok, bermain peran,
bercerita, membawa sesuatu dari rumah dan menceritakannya di kelas.
7.
Aproksimasi
Aproksimasi
sangat penting dalam belajar berbicara. Orangtua biasanya menikmati dan senang
mendengarkan ucapan-ucapan seorang anak yang berbicara dengan tata bahasa dan ucapan
yang kurang tepat. Orangtua tahu bahwa itu adalah suatu kekeliruan yang
merupakan pertanda bahwa Ia
sedang dalam proses belajar atau pertanda bahwa anak sedang bereksperimen untuk
menggunakan bahasa yang jauh lebih kompleks.
Konsep
belajar bahasa seperti itulah yang diterapkan di kelas-kelas whole language. Para guru yakin bahwa
kekeliruan merupakan hal yang wajar dalam proses belajar bahasa. Kekeliruan
yang dibuat oleh pembelajar merupakan pertanda bahwa pembelajar sedang dalam
proses belajar.
8.
Respon dan umpan balik
Respon
dan umpan balik yang diberikan oleh guru memiliki peranan penting dalam proses
aproksimasi. Hal ini karena pembelajar yang mencoba menggunakan bahasa dengan
menggunakan cara-cara mereka sendiri untuk menemukan makna tidak akan takut
berbuat salah. Keterlibatan guru secara aktif dalam percakapan dengan
pembelajar dapat menjadi model untuk pengembangan sintaksis, semantik, dan
pragmatik. Model-model kebahasaan yang ditampilkan oleh guru dapat membantu
pembelajar dalam menumbuhkembangkan kemampuan berbahasa mereka.
Dalam
pelaksanaannya, pembelajaran holistik (whole
language) mempunyai ciri-ciri tertentu yang antara lain: respon yang diberikan
oleh guru di kelas hendaknya tidak bersifat mengancam dan menakutkan. Artinya
respon tersebut tidak boleh menjadikan siswa merasa malu atau takut untuk
melakukan kegiatan berbahasa pada tahap berikutnya. Respon atau umpan balik
yang diberikan oleh guru
hendaknya dikaitkan dengan aktivitas bermakna.
2.2
Prinsip-prinsip Pendekatan Whole Language
1.
Anak tumbuh dan belajar
lebih siap ketika mereka secara aktif mengajak dirinya sendiri untuk belajar.
2.
Strategi dan kemahiran
mereka pada proses kompleks seperti membaca dan menulis namun harus
difasilitasi dengan baik oleh guru. Mereka perlu didukung secara psikologi.
3.
Untuk membangun
munculnya kemampuan membaca dan menulis, siswa perlu mencoba untuk meniru
strategi orang tua atau guru.
4.
Pengajaran dengan whole language didasarkan pada
pengamatan bahwa
banyak hal yang dipelajari pada diri siswa, sehingga guru perlu memberikan kesempatan dan
mendorong ke dalam proses belajar.
5.
Pembelajaran
dengan whole language merangsang
siswa untuk belajar secara mandiri. Tugas guru memberikan bimbingan kepada
siswa.
6.
Guru dan siswa bersama-sama
belajar dan mengambil resiko serta mengambil keputusan bersama dalam belajar.
7.
Guru mengenalkan
interaksi sosial antara siswa, berdiskusi, berbagi ide, bekerjasama untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam belajar.
8.
Guru memberikan materi
kepada siswa berupa tes agar mampu membedakan kemampuan yang belum optimal
serta mendorong siswa untuk menemukan dan mengkritik kelemahan sendiri.
9.
Penilaian disatukan
dengan pembelajaran.
10.
Guru membangun dan
mengembangkan jenis tingkah laku serta sikap yang diperlukan dalam kemajuan
belajar siswa.
2.3
Strategi Pembelajaran Holistik
1.
Pendidikan holistik
memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam
aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses
pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus menjadi tanggung jawab
kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana
mengajar dan bagaimana orang belajar.
2.
Menerapkan metode
belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat
meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara
aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkret, bermakna, serta
relevan dalam konteks kehidupannya (student
active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated
learning)
3.
Menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif (conducive learning
community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang
memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
4.
Metode pengajaran yang
memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang
melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia.
5.
Memberikan pendidikan
karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and
acting the good.
2.4
Evaluasi
dengan Pengamatan (Nontes)
dan Pengukuran (Tes)
Tidak ada suatu tindakan, kegiatan,
atau tugas tunggal yang dapat memberikan gambaran hasil belajar murid secara
lengkap. Hanya berbagai pengukuran yang mempelajari secara hati-hati dalam
suatu periode tertentu yang dapat memberikan
gambaran yang lengkap dan
tepat mengenai kemajuan, keberhasilan, dan kebutuhan murid (Routman, 1991:307).
Berikut dikemukakan profil pengumpulan data evaluasi pembelajaran bahasa.
|
PROSES
|
HASIL
|
P
|
Catatan
anekdotal
|
Tanggapan
terhadap pertanyaan
|
E
|
Wawancara
|
Tanggapan
terhadap sastra
|
N
|
Percakapan
|
Catatan
refleksi belajar
|
G
|
Tanggapan
kelompok
|
Majalah
sekolah
|
A
|
Menceritakan
kembali
|
Evaluasi
diri
|
M
|
Partisipasi
dalam diskusi
|
Hasil
penyelesaian tugas
|
A
|
Berbagai
pengalaman membaca
|
Pertanyaan
buatan murid
|
T
|
Berbagai
pengalaman menulis
|
Buku
catatan
|
A
|
Contoh
catatan
|
Kumpulan
karangan murid
|
N
|
Contoh
karangan
|
Catatan
buku yang dibaca
|
|
Draft,
revisi, suntingan
|
Catatan
kosakata
|
|
Pemecahan
masalah
|
Contoh
tulisan
|
|
|
Tanggapan
terhadap pementasan portofolio
|
|
KONTEKSTUAL
|
NONKONTEKSTUAL
|
P
|
Ceklis,
inventori
|
Tes
baku
|
E
|
Tes
buatan guru
|
Tes
kemampuan minimal
|
N
|
Latihan
menyunting
|
Tes
sekolah, nasional
|
G
|
Latihan
kelas
|
Tes
acuan norma
|
U
|
Survei
minat/sikap
|
Tes
acuan kriteria
|
K
|
Tes
formatif
|
Tes
huruf, bunyi, kata
|
U
|
Dikte
|
Tes
ejaan
|
R
|
Penilaian
karangan
|
Tes
diagnostik
|
A
|
Evaluasi
secara informal
|
Lembar
kerja
|
N
|
|
Sebagian
besar bentuk evaluasi yang telah digunakan dalam evaluasi pembelajaran bahasa
yang bersifat holistik
berupa evaluasi informal. Pengamatan dan keputusan yang dibuat oleh guru,
khususnya mengenai proses pembelajaran, merupakan alat yang paling sahih untuk
mengumpulkan dan menganalisis
data tentang pembelajaran (Routman, 1991:308).
2.4.1
Strategi
Pengamatan atau Evaluasi Informal
Perlu
diingat bahwa profil pengumpulan data evaluasi seharusnya tidak digunakan
sebagai menu atau daftar kegiatan penilaian, tetapi sebagai bagian dari
kerangka pembelajaran bahasa yang lebih luas. Murid hendaknya dibimbing menjadi
pribadi yang memanfaatkan kemampuan membaca dan menulis untuk berbagai tujuan
yang bermakna.
1.
Catatan anekdotal
Catatan
anekdotal adalah catatan pengamatan informal, yang menggambarkan perkembangan
bahasa maupun perkembangan sosial, kebutuhan, kelebihan, kekurangan, kemajuan,
gaya belajar, keterampilan, dan strategi yang digunakan oleh pembelajar atau
apa saja yang tampak bermakna ketika dilakukan pengamatan. Catatan anekdotal
dapat dibuat dalam berbagai kegiatan, misalnya menulis jurnal, memainkan drama,
membaca nyaring, diskusi kelompok, pengucapan, kerja mandiri, dan menulis.
Latar pembuatan catatan dapat berupa kelas secara keseluruhan, kelompok kecil,
atau individu. Biasanya catatan anekdotal mengenai keadaan murid secara
individual, murid yang berhadapan satu persatu dengan guru, guru mengamati
murid atau anak bekerja dalam konteks tertentu.
Contoh:
Sikap
8
Maret 1998 : senang menulis puisi
19 Maret 1998 : menggunakan kata tanya
dengan tepat, menulis percakapan secara rinci.
Kejelasan Ekpresi
9
Maret 1998 :
mudah dibaca, mudah dipahami
20
Maret 1998 :
jelas
Revisi
dan Penyuntingan (Kesediaan Berubah)
10
Maret 1998 :
bersedia memperbaiki dan mengadakan beberapa perubahan, memerlukan waktu yang
lebih lama untuk menyunting dan memberikan tanda-tanda, cenderung menghapus.
Mekanik
(Pengunaan Ejaan)
14
Maret 1998 :
melakukan beberapa kesalahan ejaan.
5
April 1998 : kemampuan mekanik
meningkat, tahu kapan harus menggunakan tanda baca dan huruf kapital.
2.
Wawancara dan survei
Wawancara
satu demi satu merupakan cara yang ideal untuk mengetahui keadaan murid.
Murid-murid cenderung memberikan tanggapan tertulis secara minimal. Wawancara secara
personal dapat memancing tanggapan dan memperoleh informasi yang mencerminkan
sikap, strategi, kesenangan, dan tingkat kepercayaan diri anak dalam waktu yang
singkat.
Contoh
pertanyaan yang perlu diajukan pada murid:
1)
Dimana kamu membaca
kalau di rumah?
2)
Seberapa lama kamu
menonton TV?
3)
Acara apa saja yang
kamu senangi?
3.
Konferensi atau diskusi
Konferensi atau diskusi merupakan alat evaluasi yang
baik. Dengan mengikuti keinginan murid, tidak memaksakan keinginan guru untuk
memahami murid-murid sebagai pembelajar dan membimbing mereka
menghubung-hubungkan kemampuan mereka berbahasa.
4.
Ceklis
Guru dapat menggunakan ceklis secara efektif dan
bijaksana. Ceklis biasanya dikombinasikan dengan komentar hasil pengamatan
untuk mengecek perilaku melek huruf (pengetahuan tentang bunyi, tulisan, dan
konsep tentang tulisan).
5.
Menceritakan kembali
Murid diminta menceritakan atau menuliskan kembali bacaan
yang telah dibaca. Menceritakan kembali dapat digunakan untuk menolong murid
dalam keterampilan berbahasa lisan dan untuk meningkatkan kemampuan memahami
bacaan.
6.
Tes/survei diagnostik
Tes/survei diagnostik digunakan untuk memilih anak-anak
yang perlu diberi program pembelajaran tambahan.
7.
Membaca buku
Salah satu cara mengevaluasi membaca nyaring yang tidak menakutkan adalah
berupa menyuruh anak memilih bagian atau bab-bab tertentu dari sebuah buku yang
disenangi.
3. Penutup
3.1
Simpulan
Konsep whole language beranjak
dari pernyataan Dewey tentang hakekat pembelajar. Para penganut whole language berpendapat bahwa pembelajar
memilki kekuatan, kesanggupan, dan keinginan untuk belajar. Pembelajar adalah
peribadi yang kreatif. Para guru penganut whole language menerima pandangan bahawa guru sebagai mediator
yang menyediakan fasilitas kepada pembelajar dalam melaksanakan transaksi
dengan duni luar. Guru adalah tenaga profesioanal yang memahami kondisi
pembelajar, teori belajar, dan kegiatan belajar mengajar. Para guru
penganut whole language menggunakan
unit tematik untuk menerapkan penggunaan kurikulum ganda.
Pengamatan
dan keputusan yang dibuat oleh guru, khususnya mengenai proses pembelajaran,
merupakan alat yang paling sahih untuk mengumpulkan dan menganalisi data
tentang pembelajaran (Routman, 1991:308).
Strategi evaluasi pengamatan terbagi menjadi catatan anekdotal, wawancara dan
survei, konferensi atau diskusi, ceklis, menceritakan kembali, tes/survei diagnostik,
dan membaca buku.
3.2
Saran
1.
Di dalam menerapkan
whole language, guru diharapkan bisa menerapkan pembelajaran dengan pendekatan whole language di sekolah. Guru hendaknya lebih kreatif dalam menyusun rancangan
pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan bisa menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan bagi siswa.
2.
Bagi guru data
evaluasi seharusnya tidak digunakan sebagai menu atau daftar kegiatan penilaian
tetapi sebagai bagian dari kerangka pembelajaran bahasa yang lebih luas. Murid
hendaknya dibimbing menjadi pribadi yang memanfaatkan kemampuan membaca dan
menulis untuk berbagai tujuan yang bermakna.
Daftar Pustaka
Rofi’uddin. Ahmad dan Darmiyati Zuhdi. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas
Tinggi. Malang: Universitas Negeri Malang.
hariyanto-untuksenja.blogspot.com
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/TA-KSDP/article/view/13367
Tidak ada komentar:
Posting Komentar