MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Asesmen
Pembelajaran SD
Dosen Pengampu : Drs. Ali Sunarso, M.Pd.
Disusun Oleh:
1. POPIYANTI
DJAMA SUHADI (1401512006)
2. CLAUDIA
KARTIKASARI (1401512019)
3. YOSEPH KREY (1401512026)
4. TRI
PUJI LESTARI (1401512033)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan kehadiran
Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-nya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Teknik Pemberian Skor dan Nilai Hasil Tes. Makalah ini di ajukan
guna memenuhi tugas mata kuliah Asesmen Pembelajaran Sekolah Dasar.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah
ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.Semoga makalah ini memberikan informasi
bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang Asesmen pembelajaran Sekolah Dasar.
SEMARANG,
OKTOBER 2013
Kelompok 6
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mendidik adalah tugas utama seorang
Guru, di dalam mendidik terdapat kriteria-kriteria tertentu dalam menentukan
apakah siswa atau siswi yang didik tersebut berhasil dalam mencapai kompetensi mata
pelajaran yang di pelajari. Dalam menentukan keberhasilan tersebut guru harus
bisa memberi penskoran dan penilaian yang adil dan obyektif kepada siswa dan
siswinya .
Setelah kita melakukan kegiatan tes
terhadap siswa, kegiatan berikutnya adalah memberikan skor pada setiap lembar
jawaban siswa. Kegiatan ini harus dilakukan dengan cermat karena menjadi dasar
bagi kegiatan pengolahan hasil tes sampai menjadi nilai prestasi. Sebelum
melakukan tes, sebaiknya Anda sudah menyusun teknik pemberian skor (penskoran).
Bahkan sebaiknya Anda sudah berpikir strategi pemberian skor sejak perumusan
kalimat pada setiap butir soal. Pada kegiatan belajar ini akan disajikan
pemberian skor pada tes domain kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan
pedoman yang telah dikeluarkan oleh Diknas (2004) yang telah dimodifikasi.
Membuat pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk uraian
dalam tes domain kognitif supaya subjektivitas Anda dalam memberikan skor dapat
diperkecil. Pedoman menyusun skor juga akan sangat penting ketika Anda
melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta didik. Karena sejak tes
belum dimulai, Anda harus dapat menentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan
tindakan dari peserta didik dalam menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.
Pada makalah ini, kita akan
mempelajari teknik pemberian skor (penskoran) dan prosedur mengubah skor ke
dalam nilai standar pada metode tes.
Adapun kompetensi yang harus Anda kuasai setelah mempelajari tehnik
penskoran ini adalah sebagai mahasiswa
mampu membuat pedoman penskoran dan melakukan analisis hasil penilaian proses
dan hasil pembelajaran dengan metode tes. Oleh sebab itu, setelah mempelajari
modul ini diharapkan kita memiliki kemampuan untuk Memberi skor pada berbagai
soal metode tes.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
teknik dalam pemberian skor ?
2. Bagaimanakah
mengubah skor dengan penilaian acuan patokan ?
3. Bagaimakah
mengubah skor dengan penilaian acuan normatif ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui teknik pemberian skor
2. Untuk
mengetahui cara mengubah skor dengan penilaian acuan patokan
3. Untuk
mengetahui cara mengubah skor dengan penilaian acuan normatif
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teknik
Pemberian Skor
Pada
hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen
menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap
item dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses menjadi
nilai-nilai (grade). Skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka)
yang diperoleh dari angka-angka dar setiap butir soal yang telah di jawab oleh
testee dengan benar, dengan mempertimbangkan bobot jawaban betulnya
Membuat pedoman
penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk uraian dalam tes domain
kognitif supaya subjektivitas Anda dalam memberikan skor dapat diperkecil.
Pedoman menyusun skor juga akan sangat penting ketika Anda melakukan tes domain
afektif dan psikomotor peserta didik. Karena sejak tes belum dimulai, Anda
harus dapat menentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta
didik dalam menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.
1. Pemberian Skor Tes pada Domain Kognitif
a.
Penskoran Soal Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran tes
bentuk pilihan ganda ada tiga macam, yaitu: pertama penskoran tanpa ada koreksi
jawaban, penskoran ada koreksi jawaban, dan penskoran dengan butir beda bobot.
1) Penskoran
tanpa koreksi, yaitu penskoran dengan cara setiap butir soal yang dijawab benar
mendapat nilai satu (tergantung dari bobot butir soal), sehingga jumlah skor
yang diperoleh peserta didik adalah dengan menghitung banyaknya butir soal yang
dijawab benar. Rumusnya sebagai berikut.
Skor =
x
100 (skala 0-100)
B = banyaknya
butir yang dijawab benar
N = adalah banyaknya butir
soal
Contohnya adalah
sebagai berikut :
Pada suatu soal
tes ada 50 butir, Budi menjawab benar 25 butir, maka skor yang dicapai Budi
adalah:
Skor =
x 100
= 50
2) Penskoran
ada koreksi jawaban yaitu pemberian skor dengan memberikan pertimbangan pada
butir soal yang dijawab salah dan tidak dijawab, adapun rumusnya sebagai
berikut.
Skor
=
x
100
B = banyaknya butir
soal yang dijawab benar
S = banyaknya butir
yang dijawab salah
P = banyaknya pilihan
jawaban tiap butir
N = banyaknya butir
soal
Butir
soal yang tidak dijawab diberi skor 0
Contoh :
Pada soal bentuk
pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan tiap butir dan
banyaknya 40 butir, Amir dapat menjawab benar 20 butir, mejawab salah 12 butir,
dan tidak dijawab ada 8 butir, maka skor yang diperoleh Amir adalah:
Skor =
x
100
= 40
3) Penskoran
dengan butir beda bobot yaitu pemberian skor dengan memberikan bobot berbeda
pada sekelompok butir soal. Biasanya bobot butir soal menyesuaikan dengan
tingkatan kognitif (pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi) yang telah dikontrak guru. Anda juga dapat membedakan bobot butir
soal dengan cara lain, misalnya ada sekelompok butir soal yang dikembangkan
dari buku pegangan guru dan sekelompok yang lain dari luar buku pegangan diberi
bobot berbeda, yang pertama satu, yang lain dua. Adapun rumusnya sebagai
berikut.
Skor
=
x
100
Bi
=
banyaknya butir soal yang dijawab benar peserta tes
bi
=
bobot setiap butir soal
St
=
skor teoritis (skor bila menjawab benar semua butir soal)
Contoh:
Pada
suatu soal tes matapelajaran IPA berjumlah 40 butir yang terdiri dari enam
tingkat domain kognitif diberi bobot sebagai berikut: pengetahuan bobot 1,
pemahaman 2, penerapan 3, analisis 4, sintesis 5, dan evaluasi 6.
Yoyok
dapat menjawab benar 8 butir soal domain pengetahuan dari 12 butir, 12 butir
dari 20 butir soal pehamanan, 2 butir soal penerapan dari 4 butir, 1 butir soal
analisis dari 2 butir, dan 1 butir soal sintesis dan evaluasi masing-masing
1butir. Berapakah skor yang diperoleh Yoyok?
Untuk
mempermudah memberi skor disusun Tabel 6.1. sebagai berikut.
Tabel
6.1. Contoh Pemberian Skor
Domain butir soal
|
Jumlah
butir
|
bi
|
Jumlah
butir x bi
|
Bi
|
Pengetahuan
|
12
|
1
|
12
|
8
|
Pemahaman
|
20
|
2
|
40
|
12
|
Penerapan
|
4
|
3
|
12
|
2
|
Analisis
|
2
|
4
|
8
|
1
|
Sintesis
|
1
|
5
|
5
|
1
|
Evaluasi
|
1
|
6
|
6
|
1
|
Jumlah =
|
40
|
-
|
St
= 83
|
25
|
Skor =
x 100
= 63.9
Jadi, skor yang
diperoleh Yoyok adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai tes matapelajaran
IPA sebesar 63,9%
b. Penskoran
Soal Bentuk Uraian Objektif
Pada
bentuk soal uraian objektif, biasanya langkah-langkah mengerjakan dianggap
sebagai indikator kompetensi para peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai
pedoman penskoran dalam soal bentuk uraian objektif adalah bagaimana
langkahlangkah mengerjakan dapat dimunculkan atau dikuasai oleh peserta didik
dalam lembar jawabannya. Untuk membuat pedoman penskoran, sebaiknya Anda
melihat kembali rencana kegiatan pembelajaran untuk mengidentifikasi
indikator-indikator tersebut.
Perhatikan
contoh berikut.
Indikator :
peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah satuan
ukurannya.
Butir
soal:Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80 cm,
dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi bak mandi tersebut? (untuk menjawabnya
tuliskan langkah-langkahnya!)
Tabel 6.2. Pedoman penskoran uraian
objektif
Langkah
|
Kunci
jawaban
|
Skor
|
1
2
3
4
5
|
Isi balok =
panjang x lebar x tinggi
= 150cm x 80cm x 75cm
= 900.000 cm3
Isi bak mandi
dalam liter
=
= 900 liter
|
1
1
1
1
1
|
Skor maksimum
|
5
|
c. Penskoran
Soal Bentuk Uraian Non-Objektif
Prinsip
penskoran soal bentuk uraian non-objektif sama dengan bentuk uraian objektif
yaitu menentukan indikator kompetensinya. Perhatikan contoh berikut.
Indikator:
peserta didik dapat mendeskripsikan alasan Warga Negara Indonesia bangga
menjadi Bangsa Indonesia.
Butir
soal: tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda berbangga sebagai Bangsa
Indonesia!
Pedoman
penskoran:
Jawaban
boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
Tabel
6.3. Contoh Pedoman Penskoran
Kriteria
jawaban
|
Rentang
skor
|
Kebanggaan
yang berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia
|
0
- 2
|
Kebanggaan
yang berkaitan dengan keindahan tanah air Indonesia
(pemandangan
alamnya, geografisnya, dll)
|
0
- 2
|
Kebanggaan
yang berkaitan dengan keanekaragaman budaya, suku, adat, istiadat tetapi
tetap bersatu.
|
0
- 2
|
Kebanggaan
yang berkaitan dengan keramahtamahan masyarakat Indonesia
|
0
- 2
|
Skor
tertinggi
|
8
|
d. Pembobotan
Soal Bentuk Campuran
Dalam
beberapa situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu bentuk pilihan dan
bentuk uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk
uraian ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat
berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal.
Pada
umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat
berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih
banyak dan lebih tinggi. Suatu ulangan terdiri dari n1 soal pilihan ganda dan
n2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal
uraian adalah w2. Jika seorang peserta didik menjawab benar n1 pilihan ganda,
dan n2 soal uraian, maka peserta didik itu mendapat skor:
Skor
= b1
+ b2
b1
=
bobot soal 1
b2
=
bobot soal 2
Contoh:
Suatu
ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal
bentuk uraian. Titi dapat menjawab benar soal pilihan ganda 16 butir dan salah
4 butir, sedang bentuk uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum 40.
Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang
diperoleh Titi dapat dihitung sebagai berikut.
a. skor pilihan
ganda tanpa koreksi jawaban dugaan : (16/20)x100 = 80
b. skor bentuk
uraian adalah : (20/40)x100 = 50
c.
skor akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62
2. Pemberian Skor Tes pada Domain Afektif
Domain afektif ikut
menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Paling tidak ada dua komponen
dalam domain afektif yang penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat terhadap
suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap pelajaran bisa positif bisa
negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta didik terhadap semua mata pelajaran
positif sehingga akan timbul minat untuk belajar atau mempelajarinya. Peserta
didik yang memiliki minat pada pelajaran tertentu bisa diharapkan prestasi belajarnya
akan meningkat secara optimal, bagi yang tidak berminat sulit untuk meningkatkan
prestasi belajarnya. Oleh karena itu, Anda memiliki tugas untuk membangkitkan
minat kemudian meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang
diampunya. Dengan demikian akan terjadi usaha yang sinergi untuk meningkatkan
kualitas proses pembelajaran.
Langkah
pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai
berikut:
a.
Pilih ranah afektif yang akan dinilai,
misalnya sikap atau minat.
b.
Tentukan indikator minat: misalnya
kehadiran di kelas, banyak bertanya, tepat waktu mengumpulkan tugas, catatan di
buku rapi, dan sebagainya. Hal ini selanjutnya ditanyakan pada peserta didik.
c.
Pilih tipe skala yang digunakan,
misalnya Likert dengan 5 skala: sangat berminat, berminat, sama saja, kurang
berminat, dan tidak berminat.
d.
Telaah instrumen oleh sejawat.
e.
Perbaiki instrumen.
f.
Siapkan kuesioner atau inventori laporan
diri.
g.
Skor inventori.
h.
Analisis hasil inventori skala minat dan
skala sikap.
Contoh:
Instrumen
untuk mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada 10 butir.
Jika rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah seorang
peserta didik adalah 10, yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50, yakni
dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30.
jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10-20 termasuk tidak berminat, 21
sampai 30 kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan skala 41 – 50 sangat berminat.
3.
Pemberian Skor
Tes pada Domain Psikomotor
a. Penyusunan
Tes Psikomotor
Kinerja (performance) yang telah
dikuasai peserta didik. Tes tersebut menurut Lunetta dkk. (1981) dalam Majid
(2007) dapat berupa tes paper and pencil, tes dentifikasi, tesimulasi, dan tes
unjuk kerja. Skala penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang jumlahnya
sedikit.
Perbuatan
yang diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat
tidak sempurna sampai sangat sempurna. Jika dibuat skala 5, maka skala 1paling
tidak sempurna dan skala 5 paling sempurna.Misal dilakukan pengukuran terhadap
keterampilan peserta didik menggunakan thermometer badan. Untuk itu dicari
indikator-indikator apa saja yang menunjukkan peserta didik terampil menggunakan
thermometer tersebut, misal indikator-indikator sebagai berikut:
1.
Cara mengeluarkan termometer dari
tempatnya.
2.
Cara menurunkan posisi air raksa
serendah-rendahnya.
3.
Cara memasang termometer pada tubuh
orang yang diukur suhunya.
4.
Lama waktu pemasangan termometer pada
tubuh orang yang diukur suhunya.
5.
Cara mengambil termometer dari tubuh
orang yang diukur suhunya.
6.
Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa
kapiler termometer.
Dari contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan
skala penilaian, ada 6 butir soal yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang
peserta didik jika untuk butir 1 peserta didik yang bersangkutan memperoleh
skor 5 berarti sempurna/benar, butir 2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi
kurang sempurna, butir 3 memperoleh skor 4 berarti juga benar tetapi kurang
sempurna, butir 4 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, butir 5 memperoleh
skor 3 berarti kurang benar, dan butir 6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang
benar, maka total skor yang dicapai peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 +
3 + 3 + 3) atau 22. Seorang peserta didik yang gagalakan memperoleh skor 6, dan
yang berhasil melakukan dengan sempurna memperoleh skor 30; maka median skornya
adalah (6 + 30)/2 = 18.
Jika dibagimenjadi 4 kategori, maka yang memperoleh
skor 6 – 12 dinyatakan gagal, skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 –
24 dinyatakan berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan
demikian peserta didik dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi
belum sempurna/belum sepenuhnya baik jika sifat keterampilannya adalah absolut,
maka setiap butir harus dicapai dengan sempurna (skala 5). Dengan demikian
hanya peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan berhasil dan
dengan kategori sempurna.
B. Mengubah Skor dengan Penilaian
Acuan Patokan
Penilaian Acuan Patokan (criterion
referenced evaluation) yang dikenal juga dengan standar mutlak berusaha
menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan membandingkannya dengan
patokan yang telah ditetapkan. Sebelum hasil tes diperoleh atau bahkan sebelum
kegiatan pengajaran dilakukan, patokan yang akan dipergunakan untuk menentukan
kelulusan harus sudah ditetapkan.
Standar atau patokan tersebut memuat
ketentuan-ketentuan yang dipergunakan sebagai batas-batas penentuan kelulusan
testee atau batas pemberian nilai pada testee. Jika skor yang diperoleh oleh
testee memenuhi batas minimal maka testee dinyatakan telah memenuhi tingkat
penguasaan minimal terhadap materi yang disampaikan dan sebaliknya jika testee
belum bisa memenuhi batas minimal yang ditentukan maka testee dianggap belum
“lulus” atau belum menguasai materi. Karena batasan-batasan tersebut bersifat
mutlak/ pasti maka hasil yang diperoleh tidak dapat di tawar lagi.
Berhubung standar penilaian
ditentukan secara mutlak, banyaknya testee yang memperoleh nilai tinggi atau
jumlah kelulusan testee banyak akan mencerminkan penguasaannya terhadap materi
yang disampaikan. Pengolahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan
menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a)
Menggabungkan skor dari berbagai sumber penilaian untuk
memperolah skor akhir.
b)
Menghitung skor minimum penguasaan tuntas dengan
menerapkan prosentase Batas Minimal
Penguasaan (BMP).
c)
Menentukan tabel konversi
C. Mengubah Skor dengan Penilaian Acuan Normatif
Penilaian Acuan Norma (Norm
Referenced Evaluation) dikenal pula dengan Standar Relatif atau Norma Kelompok.
Pendekatan penilaian ini menafsirkan hasil tes yang diperoleh testee dengan
membandingkan dengan hasil tes dari testee lain dalam kelompoknya. Alat
pembanding tersebut yang menjadi dasar standar kelulusan dan pemberian nilai
ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh testee dalam satu kelompok. Dengan
demikian, standar kelulusan baru daat ditentukan setelah diperoleh skor dari
para peserta testee.
Hal ini berarti setiap kelompok mempunyai standar masing-masing dan standar satu kelompok tidak dapat dipergunakan sebagai standar kelompok yang lain. Standar dari hasil tes sebelumnya pun tidak dapat dipergunakan sebagai standar sehingga setiap memperoleh hasil tes harus dibuat norma yang baru. Dasar pemikiran dari penggunaan standar PAN adalah adanya asumsi bahwa di setiap populasi yang heterogen terdapat siswa dengan kelompok baik, kelompok sedang dan kelompok kurang.
Hal ini berarti setiap kelompok mempunyai standar masing-masing dan standar satu kelompok tidak dapat dipergunakan sebagai standar kelompok yang lain. Standar dari hasil tes sebelumnya pun tidak dapat dipergunakan sebagai standar sehingga setiap memperoleh hasil tes harus dibuat norma yang baru. Dasar pemikiran dari penggunaan standar PAN adalah adanya asumsi bahwa di setiap populasi yang heterogen terdapat siswa dengan kelompok baik, kelompok sedang dan kelompok kurang.
Pengolahan skor dengan Penilaian Acuan Norma (PAN) mengharuskan kita
menghitung dengan statistik. Perhitungan dilakukan atas skor akhir (penggabungan
berbagai sumber skor), Kelemahan sistem
PAN adalah dengan tes apapun dalam kelompok apapun dan dengan dasar prestasi
yang bagaimanapun, pemberian nilai dengan sistem ini selalu dapat dilakukan.
Karena itu penggunaan sistem PAN dapat dilakukan dengan baik apabila memenuhi
syarat yang mendasari kurva normal, yaitu :
a)
Skor nilai terpencar atau dapat dianggap terpencar
sesuai dengan pencaran kurva normal
b)
Jumlah yang dinilai minimal 50 orang atau sebaiknya
100 orang ke atas.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan
jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari
suatu jawaban terhadap item dalam instrumen. Dalam pemberian skor tes ada 3 jenis
domain yang dinilai yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Untuk
menginterpretasikan suatu skor menjadi nilai atau mengolah skor menjadi nilai
diperlukan suatu acuan atau pedoman. Terdapat dua acuan guna menafsirkan skor
menjadi nilai. Kedua pendekatan ini memiliki tujuan, proses, standard an juga
akan menghasilkan nilai yang berbeda. Karena itulah pemilihan dengan tepat
pendekatan yang akan digunakan menjadi penting. Kedua pendekatan tersebut
adalah criterion-referenced
atau Pendekatan
Acuan Patokan (PAP) dan norms-referenced atau Pendekatan
Acuan Norma (PAN)
B.
Saran
Pemberian skor
dilakukan untuk mengetahui skor yang diperoleh siswa setelah dilakukan tes
hasil belajar yang bertujuan untuk menyaring, seperti tes seleksi. Pendidik
sebaiknya mengetahui berbagai macam teknik dalam pemeriksaan hasil tes,
pemberian skor, dan mengolah serta merubah skor menjadi nilai sehingga akan
mempermudah pekerjaan apabila memilih teknik yang sesuai dengan situasi dan
kondisi baik dari segi feasibilitas, sarana dan prasarana, dan sebagainya.
sehingga
dapat dijadikan sebagai evaluasi bagi pendidik dan peserta didik dalam proses
pembelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Balitbang
Depdiknas. (2006). Panduan Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas.
(2004). Panduan Analsis Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Depdiknas.
Ibrahim
Muslimin. (2003). Asesmen Alternatif. Bahan Pelatihan Terintegrasi
Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran
Biologi. Direktorat Pendidikan
Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Jakarta: Depdiknas.
Majid,
Abdul. (2007). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Poerwanti,
Endang. (2001). Evaluasi Pembelajaran, Modul Akta Mengajar. UMM
Press.
Rofiq
Ainur. (2002). Analisis Statistik. UMM Press
Sudjana.
(1996). Metode Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito
Sudijono
Anas. (2006). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Thoha,
M. Chabib. (1991). Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar