Hampir
semua orang pasti tak asing jika mendengar “kejarlah cita-citamu sampai ke
negeri China” tetapi saya tak pernah bermimpi bahkan tidak berani untuk
membayangkan untuk sekolah ke luar negeri. Bagi saya tempat terjauh yang pernah
saya pergi adalah kabupaten sebelah atau pun ibu kota provinsi. Negeri China?
Wah itu pasti tempat yang sangat jauh.
Saya
pun tidak menyangka ketika diberitahukan mendapat tempat menuntut ilmu di pulau
Jawa, pulau terpadat di Indonesia. Pulau pusat pemerintahan, perekonomian, dan
industri. Saya mengikuti program beasiswa dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti)
yang bernama Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia, Program Pendidikan
Profesi Guru Terintegrasi. Mulanya saya kurang mengerti program beasiswa ini di
saat saya mendaftar. Hal yang pasti adalah menjadi guru. Setelah saya memahami
lebih lanjut ternyata program ini adalah program yang cukup baik bagi kami
“anak daerah”.
Program
beasiswa ini adalah sebuah program di bawah pengawasan Dikti dengan melibatkan
beberapa LPTK di seluruh Indonesia. Sebuah program untuk mencerdaskan anak
bangsa terutama generasi penerus yang berada di daerah 3T (Terdepan, Terluar,
dan Tertinggal) dengan kata lain daerah terpencil.
Mendapat
kesempatan menuntut ilmu di LPTK Universitas Negeri Semarang (Unnes) mulanya
membuat saya bertanya-tanya. Kampus Unnes tidak sepopuler Undip yang juga
berada di Semarang atau UNY yang berada di Yogyakarta. Sebelum saya mengikuti
program ini. Saya juga mengikuti SNMPTN Tertulis sehingga saya sedikit mengetahui
mengenai beberapa kampus di pulau Jawa. Akan tetapi Unnes? Hmm, tak pernah
terpikirkan.
Program
yang baik ini tentu memiliki persaingan yang ketat untuk bisa mengikutinya.
Dari 500 lebih pendaftar di Dinas Pendidikan Kabupaten Biak Numfor, hanya 46
orang yang lulus secara keseluruhan dengan 40 lebih masuk ke dalam daftar
tunggu (cadangan). Setelah diumumkan telah lulus rasanya bahagia dan penasaran,
bagaimana kehidupan di sana? Apakah sekejam yang di televisi? Apakah sesulit
itu menuntut ilmu di sana?
Hari
itu tiba, kami telah dibagi ke LPTK masing-masing. Tiket pesawat sudah di
tangan. Sebelum berangkat kami diberi sedikit wejangan dari para pejabat Dinas
Pendidikan. Wejangan yang diberikan seputar dunia perkuliahan dan adaptasi di
tempat baru. Kata-kata yang selalu saya ingat “jangan ikut tawuran”.
Kami
berangkat dari Biak pada tanggal 24 September 2012 pukul 09.30 WIT dari Bandara
Frans Kaisiepo Biak. Deru mesin pesawat telah terdengar, rombongan kami dengan
tiket tujuan Semarang harus segera boarding.
Rombongan kami ialah yang terbanyak di antara kota-kota lain. Dengan perpisahan
mengharukan terutama berpisah dengan keluarga, kami pun segera menuju pesawat.
Derai air mata dan keharuan mengiringi kepergian kami. Sulit rasanya bagiku
meninggalkan keluarga terutama di saat Ayah telah tiada tetapi selalu
menguatkan diri, “itu demi masa depan!”.
Di
Bandara, kami berjanji saling menjaga. Orangtua berpesan agar kami tak
melupakan rohani juga jasmani kami nantinya. Tak sampai 15 menit di ruang
tunggu, kami menuju pesawat. Di dalam pesawat garuda itu, rombongan kami tak
henti berkicau. Bagaimana tidak, di dalam pesawat Garuda sebesar itu
setengahnya adalah peserta PPGT.
Saya
duduk bersama teman yang sangat pendiam yaitu Fero Siske Yarangga dan teman
yang sangat cerewet Fitriani Abdullah. Selama di perjalanan, kami sangat
menikmati fasilitas pesawat sembari membayangkan bagaimana Kota Semarang itu.
Apakah sama dengan Biak ataukah berbeda? Melalui komputer kecil di pesawat, saya
mencari info tentang Semarang beserta tempat-tempat wisatanya.
Sepanjang
perjalanan ada saja berbagai tingkah pola lucu yang kami ciptakan.
Candaan-candaan yang sepertinya lebih kepada menghibur diri menuju tanah yang
tak kami ketahui sebelumnya. Tanpa saudara dan tanpa keluarga.
Kurang
lebih 2 jam kemudian kami tiba di Bandara Sultan Hassanuddin Makassar. Di sini
kami harus menerima kenyataan berpisah dengan teman-teman tujuan Makassar dan
Manado. Sedih. Mengingat dalam beberapa hari ini kami terasa kian akrab namun
kami harus menerima bahwa inilah jalan hidup kami. Inilah yang harus kami
tempuh demi masa depan kami.
Garuda
pun terbang menghantarkan kami pada destinasi berikutnya, Jakarta. Selama
perjalanan menuju Ibukota Negara itu, kami bersorak. Meskipun tidak menetap di
sana tetapi setidaknya kami bisa menginjak sebagian kecil dari wilayah Jakarta,
yaitu Bandara Internasional Soekarno-Hatta J.
Sekitar
dua jam kemudian, kami mendarat di Bandara internasional terbesar di Indonesia
tersebut. Hati kami cukup bahagia. Bahagia karena kami telah tiba di Ibukota
Negara, dan juga bahagia karena kami tak lama lagi akan tiba di Semarang.
Sesampai di Jakarta, ada sedikit kekecewaan dalam batinku. Jakarta yang dikenal
sebagai Pusat Pemerintahan Negara itu sangat miris keadaannya. Langit Jakarta
yang abu-abu tak lagi biru berbisik pada kami bahwa polusi Jakarta sudah sangat
memprihatinkan.
Kami
mengambil barang-barang karena akan segera berangkat ke Semarang dengan
penerbangan baru serta pesawat berbeda. Rombongan kami sempat berpapasan dengan
penyanyi jebolan ajang bergengsi, Febri Idol. Menuju ruang tunggu, asaya cukup
takjub dengan kemegahan Bandara Soe-tta. Sangat besar dan luas. Arsitektur yang
megah menggambarkan Indonesia dengan sangat apik. Ratusan pesawat antri untuk take off dan landing. Ribuan penumpang berangkat, kedatangan, dan transit
memadati ruang-ruang bandara.
Hal
lucu terjadi ketika kami mendengar dari pusat informasi tentang keberangkatan
para penumpang tujuan Negara-negara Asia yang menggunakan bahasa Mandarin. Kami
tersentak dan tertawa, maklum karena bahasa itu terdengar asing di telinga kami
yang anak daerah. Di ruang tunggu, seorang warga Negara Indonesia juga salah
menerka teman-teman kami yang orang Papua asli sebagai Turis :D. Ia menggunakan
bahasa Inggris “Excuse Me, Sir”, padahal kami sama-sama orang Indonesia. Teman-teman
lantas tersenyum manis dengan tingkah orang itu.
Pesawat
kami telah tiba, perjalanan ke Semarang dilanjutkan. Pendamping kami ternyata
mendapat tiket yang berbeda dengan kami. Beliau juga harus mengantarkan
mahasiswa PPGT tujuan Yogyakarta maka kami melanjutkannya tanpa pendamping dengan
rombongan 20 orang.
Perjalanan
Jakarta-Semarang menempuh waktu sekitar 1 jam. Ketika pesawat landing. Cukup terkejut ketika melihat
keringnya landasan dan pohon-pohon pisang di sekitarnya. Ternyata Semarang
sedang mengalami musim kemarau. Maklum saja, daerah saya, Biak tidak pernah
merasakan namanya musim. Semua tergantung mood
dari langit :D
Karena
rombongan kami adalah yang terbanyak, maka pengurus PPG menjemput kami di
bandara. Dengan kertas bertuliskan PPGT UNNES akhirnya kami bertemu penjemput.
Kami dijemput dengan bus Unnes dan mobil. Bus untuk orang, dan mobil untuk
barang. Keren kan?
Perjalanan
menuju asrama tidak terlalu jauh. Selama di perjalanan, saya menerka-nerka
seperti apa asramanya. Disiplin kah? Semi militer atau bagaimana?
Sesampainya
di asrama kami disambut oleh kakak tingkat kami yang diberi tanggungjawab
menerima kami. Terkesima melihat asrama yang seperti hotel. Memiliki 3 gedung
(A, B, C) dan setiap gedung memiliki 3 lantai. Setiap lantai ada sekitar 12
kamar dengan 4 orang setiap kamar. Dan kami memilih sendiri teman kamar kami.
Beberapa
hari kemudian beberapa teman datang. Ada yang dari Kalimantan, NTT, Aceh, dan
Kepulauan Riau. Sebenarnya saya melihat secara langsung orang Kalimantan, Aceh,
dan Kepri baru pertama kali :D. karena di daerah saya populasinya tidak ada :D.
Kalau orang NTT sudah tak asing lagi.
Sebelum
memulai semester kami menerima PPA (Pengenalan Program Akademik). Dari situlah
kami mulai mengenal satu sama lain. Hal tersulit yang saya rasakan pada kami
secara keseluruhan adalah beradaptasi. Adaptasi tak hanya pada lingkungan yang
baru dengan budaya Jawa yang ini dan itu, makanannya atau juga dengan
perkuliahannya. Kami juga harus berusaha keras beradaptasi sesama teman kami
sendiri yang juga berasal dari daerah.
Setiap
budaya dengan keunikannya. Setiap individu dengan perilakunya. Seperti itulah.
Menggabungkan 33 karakter dari 5 provinsi yang berbeda itu sangat sulit.
Bayangkan saja, 24 jam kami harus menatap wajah-wajah yang sama. Berinteraksi
dengan individu yang sama kerasnya. Dari kami membuka mata sampai menutup mata
dan akhirnya membuka lagi. Kami makan di meja yang sama, dengan masakan dari orang
yang sama. Mandi air yang sama, berbagi udara bersama, dan tidur berdampingan.
Semester
awal terlewati dengan perjuangan keras. Mungkin bukan pelajarannya, tetapi
dengan orang-orang yang mulanya asing yang kini harus diterima sebagai
keluarga. Semester awal merupakan semester yang penuh permasalahan. Sangat
banyak, yang menyakiti hati, yang memancing amarah, dan yang menjatuhkan air
mata. Akan tetapi hal yang selalu menyadarkan kami adalah kesepian. Kami jauh
dari rumah, jauh dari keluarga, siapa lagi yang bisa diandalkan kalau bukan
orang-orang asing itu? Yap, kami harus saling menerima bahwa hanya dengan
saling bergantung kami bisa bertahan. Ketika kami sakit, ketika kami susah,
ketika kami sehat, dan ketika kami senang, ketika di perantauan merekalah yang
selalu ada.
Setiap
semester, setiap kegiatan, setiap peristiwa telah kami lewati bersama. Sedih,
bahagia, derita, dan tawa. Semua seakan menjadi bumbu hubungan kami yang begitu
dekat. Semua kebiasaan masing-masing, warna favorit, makanan kesukaan sudah
kami ketahui. Akhirnya kami tiba pada semester yang akan menguji mental,
pikiran, jasmani, dan rohani kami yang anak negara. Semester pembuktian diri,
semester penentu masa depan kami. Yah, meskipun kami anak negara tetapi hanya
kami sendiri yang bisa keluar dari ketidakpastian.
Semoga
pintu yang kami masuki bersama akan menjadi saksi keluarnya kami bersama. Meski
nantinya hati sedikit terluka dan tangis takkan mampu kami bendung, setidaknya
sertai kami Tuhan agar semua harapan dapat terwujud. Agar harapan orangtua,
daerah, bangsa dan negara tidak hanya menjadi impian semata. Pada akhirnya, semoga
menggenggam asa di pulau Jawa tidak hanya menjadi judul tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar