Selasa, 11 Agustus 2015

Menggenggam Asa di Pulau Jawa



Hampir semua orang pasti tak asing jika mendengar “kejarlah cita-citamu sampai ke negeri China” tetapi saya tak pernah bermimpi bahkan tidak berani untuk membayangkan untuk sekolah ke luar negeri. Bagi saya tempat terjauh yang pernah saya pergi adalah kabupaten sebelah atau pun ibu kota provinsi. Negeri China? Wah itu pasti tempat yang sangat jauh.

Saya pun tidak menyangka ketika diberitahukan mendapat tempat menuntut ilmu di pulau Jawa, pulau terpadat di Indonesia. Pulau pusat pemerintahan, perekonomian, dan industri. Saya mengikuti program beasiswa dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) yang bernama Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia, Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi. Mulanya saya kurang mengerti program beasiswa ini di saat saya mendaftar. Hal yang pasti adalah menjadi guru. Setelah saya memahami lebih lanjut ternyata program ini adalah program yang cukup baik bagi kami “anak daerah”.

Program beasiswa ini adalah sebuah program di bawah pengawasan Dikti dengan melibatkan beberapa LPTK di seluruh Indonesia. Sebuah program untuk mencerdaskan anak bangsa terutama generasi penerus yang berada di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dengan kata lain daerah terpencil.

Mendapat kesempatan menuntut ilmu di LPTK Universitas Negeri Semarang (Unnes) mulanya membuat saya bertanya-tanya. Kampus Unnes tidak sepopuler Undip yang juga berada di Semarang atau UNY yang berada di Yogyakarta. Sebelum saya mengikuti program ini. Saya juga mengikuti SNMPTN Tertulis sehingga saya sedikit mengetahui mengenai beberapa kampus di pulau Jawa. Akan tetapi Unnes? Hmm, tak pernah terpikirkan.

Program yang baik ini tentu memiliki persaingan yang ketat untuk bisa mengikutinya. Dari 500 lebih pendaftar di Dinas Pendidikan Kabupaten Biak Numfor, hanya 46 orang yang lulus secara keseluruhan dengan 40 lebih masuk ke dalam daftar tunggu (cadangan). Setelah diumumkan telah lulus rasanya bahagia dan penasaran, bagaimana kehidupan di sana? Apakah sekejam yang di televisi? Apakah sesulit itu menuntut ilmu di sana?

Hari itu tiba, kami telah dibagi ke LPTK masing-masing. Tiket pesawat sudah di tangan. Sebelum berangkat kami diberi sedikit wejangan dari para pejabat Dinas Pendidikan. Wejangan yang diberikan seputar dunia perkuliahan dan adaptasi di tempat baru. Kata-kata yang selalu saya ingat “jangan ikut tawuran”.

Kami berangkat dari Biak pada tanggal 24 September 2012 pukul 09.30 WIT dari Bandara Frans Kaisiepo Biak. Deru mesin pesawat telah terdengar, rombongan kami dengan tiket tujuan Semarang harus segera boarding. Rombongan kami ialah yang terbanyak di antara kota-kota lain. Dengan perpisahan mengharukan terutama berpisah dengan keluarga, kami pun segera menuju pesawat. Derai air mata dan keharuan mengiringi kepergian kami. Sulit rasanya bagiku meninggalkan keluarga terutama di saat Ayah telah tiada tetapi selalu menguatkan diri, “itu demi masa depan!”.

Di Bandara, kami berjanji saling menjaga. Orangtua berpesan agar kami tak melupakan rohani juga jasmani kami nantinya. Tak sampai 15 menit di ruang tunggu, kami menuju pesawat. Di dalam pesawat garuda itu, rombongan kami tak henti berkicau. Bagaimana tidak, di dalam pesawat Garuda sebesar itu setengahnya adalah peserta PPGT.

Saya duduk bersama teman yang sangat pendiam yaitu Fero Siske Yarangga dan teman yang sangat cerewet Fitriani Abdullah. Selama di perjalanan, kami sangat menikmati fasilitas pesawat sembari membayangkan bagaimana Kota Semarang itu. Apakah sama dengan Biak ataukah berbeda? Melalui komputer kecil di pesawat, saya mencari info tentang Semarang beserta tempat-tempat wisatanya.

Sepanjang perjalanan ada saja berbagai tingkah pola lucu yang kami ciptakan. Candaan-candaan yang sepertinya lebih kepada menghibur diri menuju tanah yang tak kami ketahui sebelumnya. Tanpa saudara dan tanpa keluarga.

Kurang lebih 2 jam kemudian kami tiba di Bandara Sultan Hassanuddin Makassar. Di sini kami harus menerima kenyataan berpisah dengan teman-teman tujuan Makassar dan Manado. Sedih. Mengingat dalam beberapa hari ini kami terasa kian akrab namun kami harus menerima bahwa inilah jalan hidup kami. Inilah yang harus kami tempuh demi masa depan kami.

Garuda pun terbang menghantarkan kami pada destinasi berikutnya, Jakarta. Selama perjalanan menuju Ibukota Negara itu, kami bersorak. Meskipun tidak menetap di sana tetapi setidaknya kami bisa menginjak sebagian kecil dari wilayah Jakarta, yaitu Bandara Internasional Soekarno-Hatta J.

Sekitar dua jam kemudian, kami mendarat di Bandara internasional terbesar di Indonesia tersebut. Hati kami cukup bahagia. Bahagia karena kami telah tiba di Ibukota Negara, dan juga bahagia karena kami tak lama lagi akan tiba di Semarang. Sesampai di Jakarta, ada sedikit kekecewaan dalam batinku. Jakarta yang dikenal sebagai Pusat Pemerintahan Negara itu sangat miris keadaannya. Langit Jakarta yang abu-abu tak lagi biru berbisik pada kami bahwa polusi Jakarta sudah sangat memprihatinkan.

Kami mengambil barang-barang karena akan segera berangkat ke Semarang dengan penerbangan baru serta pesawat berbeda. Rombongan kami sempat berpapasan dengan penyanyi jebolan ajang bergengsi, Febri Idol. Menuju ruang tunggu, asaya cukup takjub dengan kemegahan Bandara Soe-tta. Sangat besar dan luas. Arsitektur yang megah menggambarkan Indonesia dengan sangat apik. Ratusan pesawat antri untuk take off dan landing. Ribuan penumpang berangkat, kedatangan, dan transit memadati ruang-ruang bandara.

Hal lucu terjadi ketika kami mendengar dari pusat informasi tentang keberangkatan para penumpang tujuan Negara-negara Asia yang menggunakan bahasa Mandarin. Kami tersentak dan tertawa, maklum karena bahasa itu terdengar asing di telinga kami yang anak daerah. Di ruang tunggu, seorang warga Negara Indonesia juga salah menerka teman-teman kami yang orang Papua asli sebagai Turis :D. Ia menggunakan bahasa Inggris “Excuse Me, Sir”, padahal kami sama-sama orang Indonesia. Teman-teman lantas tersenyum manis dengan tingkah orang itu.

Pesawat kami telah tiba, perjalanan ke Semarang dilanjutkan. Pendamping kami ternyata mendapat tiket yang berbeda dengan kami. Beliau juga harus mengantarkan mahasiswa PPGT tujuan Yogyakarta maka kami melanjutkannya tanpa pendamping dengan rombongan 20 orang.

Perjalanan Jakarta-Semarang menempuh waktu sekitar 1 jam. Ketika pesawat landing. Cukup terkejut ketika melihat keringnya landasan dan pohon-pohon pisang di sekitarnya. Ternyata Semarang sedang mengalami musim kemarau. Maklum saja, daerah saya, Biak tidak pernah merasakan namanya musim. Semua tergantung mood dari langit :D

Karena rombongan kami adalah yang terbanyak, maka pengurus PPG menjemput kami di bandara. Dengan kertas bertuliskan PPGT UNNES akhirnya kami bertemu penjemput. Kami dijemput dengan bus Unnes dan mobil. Bus untuk orang, dan mobil untuk barang. Keren kan?

Perjalanan menuju asrama tidak terlalu jauh. Selama di perjalanan, saya menerka-nerka seperti apa asramanya. Disiplin kah? Semi militer atau bagaimana?

Sesampainya di asrama kami disambut oleh kakak tingkat kami yang diberi tanggungjawab menerima kami. Terkesima melihat asrama yang seperti hotel. Memiliki 3 gedung (A, B, C) dan setiap gedung memiliki 3 lantai. Setiap lantai ada sekitar 12 kamar dengan 4 orang setiap kamar. Dan kami memilih sendiri teman kamar kami.

Beberapa hari kemudian beberapa teman datang. Ada yang dari Kalimantan, NTT, Aceh, dan Kepulauan Riau. Sebenarnya saya melihat secara langsung orang Kalimantan, Aceh, dan Kepri baru pertama kali :D. karena di daerah saya populasinya tidak ada :D. Kalau orang NTT sudah tak asing lagi.

Sebelum memulai semester kami menerima PPA (Pengenalan Program Akademik). Dari situlah kami mulai mengenal satu sama lain. Hal tersulit yang saya rasakan pada kami secara keseluruhan adalah beradaptasi. Adaptasi tak hanya pada lingkungan yang baru dengan budaya Jawa yang ini dan itu, makanannya atau juga dengan perkuliahannya. Kami juga harus berusaha keras beradaptasi sesama teman kami sendiri yang juga berasal dari daerah.

Setiap budaya dengan keunikannya. Setiap individu dengan perilakunya. Seperti itulah. Menggabungkan 33 karakter dari 5 provinsi yang berbeda itu sangat sulit. Bayangkan saja, 24 jam kami harus menatap wajah-wajah yang sama. Berinteraksi dengan individu yang sama kerasnya. Dari kami membuka mata sampai menutup mata dan akhirnya membuka lagi. Kami makan di meja yang sama, dengan masakan dari orang yang sama. Mandi air yang sama, berbagi udara bersama, dan tidur berdampingan.

Semester awal terlewati dengan perjuangan keras. Mungkin bukan pelajarannya, tetapi dengan orang-orang yang mulanya asing yang kini harus diterima sebagai keluarga. Semester awal merupakan semester yang penuh permasalahan. Sangat banyak, yang menyakiti hati, yang memancing amarah, dan yang menjatuhkan air mata. Akan tetapi hal yang selalu menyadarkan kami adalah kesepian. Kami jauh dari rumah, jauh dari keluarga, siapa lagi yang bisa diandalkan kalau bukan orang-orang asing itu? Yap, kami harus saling menerima bahwa hanya dengan saling bergantung kami bisa bertahan. Ketika kami sakit, ketika kami susah, ketika kami sehat, dan ketika kami senang, ketika di perantauan merekalah yang selalu ada.

Setiap semester, setiap kegiatan, setiap peristiwa telah kami lewati bersama. Sedih, bahagia, derita, dan tawa. Semua seakan menjadi bumbu hubungan kami yang begitu dekat. Semua kebiasaan masing-masing, warna favorit, makanan kesukaan sudah kami ketahui. Akhirnya kami tiba pada semester yang akan menguji mental, pikiran, jasmani, dan rohani kami yang anak negara. Semester pembuktian diri, semester penentu masa depan kami. Yah, meskipun kami anak negara tetapi hanya kami sendiri yang bisa keluar dari ketidakpastian.


Semoga pintu yang kami masuki bersama akan menjadi saksi keluarnya kami bersama. Meski nantinya hati sedikit terluka dan tangis takkan mampu kami bendung, setidaknya sertai kami Tuhan agar semua harapan dapat terwujud. Agar harapan orangtua, daerah, bangsa dan negara tidak hanya menjadi impian semata. Pada akhirnya, semoga menggenggam asa di pulau Jawa tidak hanya menjadi judul tulisan ini.

Tidak ada komentar: