Rabu, 12 Agustus 2015

Mengejar Matahari di Bukit Sikunir



Perjalanan ini sebenarnya adalah sebuah perjalanan dadakan dan tidak terencana. Seperti mengikuti angin saja. Pukul 21.30 WIB, kami berjumlah sepuluh orang yang notabene adalah mahasiswa modal nekat berangkat menuju dataran tinggi Dieng yang tersohor itu. Dataran tinggi Dieng terletak di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Berbatasan dengan Kabupaten Temanggung, Magelang, dan  Banjarnegara serta beberapa kabupaten lainnya.
Karena belum paham betul kondisi dan rute menuju lokasi, kami cukup lama berada di jalan. Sekitar hampir 5 jam perjalanan. Hal itu dikarenakan kami hanya mengandalkan GPS yang dimiliki oleh Google Maps. Kami pun banyak berhenti di SPBU untuk mengisi bensin, beristirahat dan ke kamar kecil. Beberapa kali kami salah mengambil jalur sehingga waktu pun akhirnya terbuang percuma. Ditambah lagi ada insiden kecil yang menimpa teman kami, maka kami harus berhenti terlebih dahulu untuk memulihkan keadaan.
Semakin malam, semakin dingin, dan semakin kencang angin ditambah ketika kami harus melewati lembah. Rombongan kami mengambil rute melewati Kabupaten Temanggung. Kami pun berhenti di alun-alun Temanggung untuk melepas penat dan menghangatkan badan.



Kami tiba di alun-alun Temanggung sekitar pukul 00.05 WIB. Selama kurang lebih 30 menit akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan dari Temanggung ke Wonosobo jalan sudah mulai menanjak dan berkelok-kelok. Tibalah kami di alun-alun Wonosobo yang sedikit memusingkan kami mencari papan penunjuk “Dieng”. Setelah menemukan, kami kembali harus menemui jalan menanjak untuk menemukan negeri para dewa tersebut. Angin gunung yang sangat dingin menerpa kami. Anggapan saya “belum di puncaknya saja sudah sedingin ini, apalagi di atas sana..”. bagi saya yang belum pernah naik gunung ada sedikit rasa cemas.
Kami pun tiba di gerbang utama Dieng Plateau. Dengan membayar 2 orang dengan 1 motor sebesar Rp. 10.000,-. Setelah itu kami memutuskan untuk ke satu tujuan, yaitu Bukit Sikunir. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Kami pun melewati desa dan perumahan warga, kebun bunga dan buah sudah mulai tercium wangi semerbak yang segar yang tak akan dijumpai di daerah lain. Saat kami melewati jalan menanjak, berbelok dan di pinggirnya adalah jurang. Itu adalah saat paling menakjubkan bagi saya. Menembus kabut dan melihat jelas kabut menutupi pedesaan dan gunung di sekitarnya. Di bawah cahaya rembulan dan bintang yang sulit ditemui di langit Semarang. Seperti di film-film sihir Hollywood saja.



Tiba di gerbang masuk Bukit Sikunir, kami masing-masing harus membayar Rp. 5.000,- untuk masuk ke area Telaga Cebong, Bukit Sikunir, dan Curug Sikarim. Nilai plus menuju  Bukit Sikunir adalah sebagian besar jalan sudah mulus, hanya sedikit saja yang berbatu setelah memasuki Desa Sembungan.
Kurang lebih pukul 03.00 kami tiba di Telaga Cebong, Desa Sembungan, desa tertinggi di pulau Jawa. Udara dingin di bawah 0°C akhirnya memaksa saya untuk mengenakan sarung tangan yang tersedia di kios-kios di pinggir telaga. Karena saat itu adalah bulan puasa, maka kios-kios buka lebih awal untuk menyediakan santapan sahur bagi pengunjung yang akan berpuasa. Kami pun menunggu kedua teman kami untuk sahur. Selama menunggu, saya merasakan dingin yang teramat sangat. Dinginnya menyelimuti hingga ke tulang padahal saat itu adalah musim kemarau. Cukup kagum juga pada masyarakat yang tinggal di daerah itu, mampu bertahan di tengah dinginnya kondisi. Memang benar, jika pada bulan Juli-Agustus adalah titik suhu terendah di dataran tinggi Dieng.
Sekitar pukul 04.00 WIB kami naik ke puncak Sikunir. Tidak terlalu jauh jaraknya dari tempat parkir, tetapi jalan yang curam dan berbatu ditambah udara dingin membuat kami cepat lelah. Dengan tersengal-sengal akhirnya kami tiba di puncak Sikunir yang berada di ketinggian 2.263 meter di atas permukaan laut (mdpl).



Karena kami terlalu cepat tiba di atas, kami pun menyalakan api untuk menghangatkan diri. angin berhembus kencang seperti teriakan yang bergema. Sedikit menyeramkan tetapi juga sangat mengasyikan.
Mulanya hanya rombongan kami beserta 3 orang pria yang naik ke puncak. Sekitar pukul 05.00 WIB rombongan lain mulai berdatangan. Siluet gunung yang diselimuti kabut pagi hari sungguh menakjubkan. Langit yang biru kemerahan membuatku sangat kagum, betapa indahnya ciptaan Tuhan. Manusia sering merasa tinggi hati, sebaiknya segera menyadari di hadapan Tuhan kita mungkin hanya seujung kuku. Alam mampu mengajarkan itu semua tetapi manusia yang tak bertanggungjawab malah merusaknya.





Akhirnya, saat yang kami tunggu pun tiba. Matahari beranjak perlahan, terbangun dari tidurnya. Dia yang kami kejar akhirnya kami temukan juga, sang Golden Sunrise. Gunung-gunung yang dapat terlihat dari Bukit Sikunir adalah Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merbabu, dan Gunung Merapi. Cuma bisa bilang menakjubkan, keren, dan indah. Menyaksikan secara langsung seakan menyadarkanku bahwa kehidupan tidak akan dimengerti hanya dari balik televisi, tetapi perjalanan menemukannya sendiri akan membuat kita lebih memahami yang Maha di jagad ini, bahwa toh kita bukan siapa-siapa dibanding kuasa-Nya.





Gambar diambil dengan Nokia XL (Mikha L. Randongkir) dan DSLR Nikon D3000 (Satrio Dwi Irianto)

Tidak ada komentar: