Suka. Itulah rasa awalnya, namun ke
tahap sayang dan cinta tak semudah itu. Bahkan tak dapat dirasakan semua orang
apa itu cinta yang sesungguhnya. Cinta mungkin merupakan sebuah rasa indah
untuk memiliki dan menjaga tapi bagiku itu juga pengorbanan yang besar. Besar dan istimewa untuk cinta yang
kutemukan. Sebuah cinta tanpa syarat.
Cinta itu kutemukan di sini, di tanah
Jawa. Dia yang sejak Desember 2012 mengisi hari-hariku.. Dia yang diberikan
Tuhan untukku sebagai kado Natal. Dia yang bisa jadi kiriman dari Ayah dan Ibu.
Cinta yang mulanya bahagia meski
ada beberapa kerikil kecil hingga suatu ketika dihantam badai yang membuat kami
terhempas ke batu karang. Pelangi itu tak ada lagi, mendung tak dapat
dibendung. Akhirnya hujan membasahi hari-hari yang semula cerah.
31 Agustus 2013-17 Oktober 2013
Aku sakit. Sakit parah hingga
mengundang keputusasaan menghampiri kami berdua. Dokter mendiagnosa bahwa aku
menderita Erupsi Obat, Liver dan Hyperpyrexia. Istilah yang terkenal yaitu
komplikasi. Virus yang ada di tubuh juga menyerang saraf dan paru-paru. Kondisi
tubuhku terutama kulit sangat sensitif terhadap sentuhan bahkan terkena kuku
sedikit saja akan membuatku berteriak. Suhu tubuhku berkisar 37-39 derajat
Celcius pada 2 minggu pertama opname. Paru-paru yang terisi cairan sering
menyebabkanku sesak napas hingga harus memakai oksigen. Kulit tubuhku
terkelupas hingga bibir dan mataku tak dapat terbuka akibat luka. Panasnya
badanku menyebabkanku harus tidur dengan suhu AC sangat rendah dan rasa gatal
setiap hari. Oleh karena itu Dokter menempatkanku di ruang tersendiri. Dokter
yang menanganiku berjumlah 3 orang. Dokter Khunadi sebagai spesialis kulit,
Dokter Prima sebagai spesialis penyakit dalam dan Dokter Dyah sebagai dokter
spesialis paru.
Penyakit ini membuatku harus
menjalani serangkaian pemeriksaan laboratorium yang melelahkan, suntikan yang
menyakitkan dan tak terhitung, botol infus yang cukup membuatku kembung serta
makanan rumah sakit yang enak hingga membuatku mual dan masuk di 2 Rumah Sakit
yang berbeda. Karena penyakit ini pula, setengah perkuliahan semester 3
kuhabiskan di Rumah Sakit. Penyakit ini membuatku harus selalu disuntik,
diperiksa tensi darahnya, dan diberi antibiotik yang menyakitkan nadi. Berat
badanku yang semula 49kg turun menjadi 40kg. Yaa, sangat kurus. Bahkan rambutku
rontok karena banyaknya zat kimia yang masuk ke tubuh. Kulitku menghitam dan
menipis. Kulit kepala dan mataku mengeluarkan cairan berwarna kuning yang
berbau menyengat seperti telur. Warna bola mata yang putih pun harus berubah
menjadi kuning karena kadar bilirubin yang tinggi. Aku menjadi sulit berjalan
karena pusing akibat kekurangan sel darah merah.
Di rumah sakit kedua aku harus
ditempatkan di ruang isolasi. Para perawat dan dokter pun harus memakai sarung
tangan dan masker jika ingin berkontak langsung denganku. Tidak sedikit teman
yang merasa iba, simpati, empati, sedih, bahkan mungkin merasa jijik denganku.
Aku merasa sangat sedih dan pasrah
akan apa yang Tuhan kehendaki. Tiap malam dalam tidurku aku menangis. Di satu
sisi aku sangat ingin di saat tersulit itu ada keluarga yang menghibur di sisi
lain aku marah pada-Nya. Bahkan berulang kali mengatakan-Nya jahat. Mengapa
harus aku lagi yang menerima berbagai cobaan itu? Mengapa bukan orang lain? Selain daripada itu putus asa adalah masalah
terbesarku. Putus asa karena tidak bisa mengikuti perkuliahan. Putus asa karena
tidak tahu harus meminta bantuan pembayaran rumah sakit kepada siapa lagi.
Di balik segala keputusasaan itu,
Tuhan mengirimkan sedikit cahaya. Di saat-saat paling sulit dalam hidupku itu
aku sangat bersyukur ada dia yang selalu menemaniku setiap waktu melewati ujian
yang cukup berat untuk kuhadapi sendiri. Bahkan kuliahnya pun tak
dihiraukannya. Bahkan dia mandi hanya sekali sehari, makan hanya sekali, pulang
ke asrama hanya sebentar saja lalu kembali ke rumah sakit. Di saat aku
kepanasan dan AC dinyalakan dia tidak mengeluh meski hidung dan dadanya
kesakitan karena udara dari AC. Hanya selimut tipis yang menghangatkan dia tiap
malam di sofa kamarku.
Guratan lelah dapat terlihat jelas
di wajahnya. Garis-garis kecemasan tak dapat disembunyikannya bahkan tangis tak
dapat ditahannya. Aku tahu dia menangis di sudut ruangan rumah sakit. Aku tahu
perasaannya yang gelisah dan takut aku tak dapat sembuh. Bahkan aku sendiri
mencemaskan hal itu. Di tiap malam tidurnya tak pernah lelap. Berjaga-jaga
kalau aku terbangun karena gatal dan panas tubuhku atau jika aku ingin ke
toilet. Di saat aku lapar dia dengan setia membelikan dan menyuapkannya ke
dalam mulutku yang bahkan sulit kubuka sendiri. Menyeka wajahku dengan air
hangat serta membersihkan cairan yang keluar dari mata dan telinga. Memegang
tanganku saat perawat-perawat itu menusukkan jarum suntik, mengambil darah dan
memberi antibiotik. Aku hanya bisa menangis.
Di kala kesakitan itu juga tak jarang aku memarahinya, membentaknya, menyalahkannya atas segala hal. Tiba-tiba
diriku menjadi pemarah dan labil. Sesungguhnya aku tak ada niat menyakitinya, hanya
saja keputusasaan membuatku menjadi seperti itu. Putus asa pada titik terendah
serta kesedihan mendalam yang menyelimuti hati. Aku hanya ingin di kala seperti
itu dapat ditemani keluarga, diberi support dari orang-orang terkasih yang
nyata. Meski saat itu kami berdua sudah sangat putus asa, tak henti dirinya
terus membacakan ayat-ayat Kitab Suci untukku, mengajakku berdoa dan
menyanyikan lagu-lagu yang menghiburku.
Aku merasa Tuhan itu sangat baik,
Ia mengirimkan orang-orang yang setia menjaga dan memberi dukungan padaku meski
bukan sedarah. Teman-teman, relasi, sahabat, dan semua yang kami kenal datang
menjenguk dan memberi doa serta berbagai bantuan lainnya. Cukup sedih saat
teman-teman yang menjagaku harus bertahan dalam kedinginan karena suhu AC yang
rendah dikarenakan tubuhku yang panas harus terus menggunakan AC dengan suhu
paling rendah.
Seketika itu aku tersadar bahwa
banyak orang yang menyayangi dan mencintaiku. Masih banyak yang mengorbankan
waktu, tenaga, kesempatan bahkan hal-hal yang penting untukku. Aku tak
mengharapkan mereka terus-menerus di sampingku namun yang terjadi ialah mereka
masih setia. Aku bahagia dan terharu serta tak lupa bersyukur. Akhir dari
semuanya kami diberi banyak kemudahan. Kemudahan dalam menjalani ujian itu,
kemudahan dalam perkuliahan, kemudahan memperoleh kesembuhan dan berkat Tuhan.
Satu hal yang sangat kusyukuri
ialah menemukan dia yang di saat tersulitku masih setia di sisi dan menerima
apa adanya. Dari peristiwa ini ku belajar bahwa cinta yang setia dimana saat
seseorang berada di titik terendah masih ada yang bersedia terjatuh untuk
bangkit kembali bersama. Aku berharap dia juga dapat menjadi cinta sejatiku
jika Tuhan merestuinya. Terimakasih Tuhan untuk hadiah-hadiahMU, untuk
pengabulan doa kami, untuk malaikat yang Engkau kirimkan. Syukur kepadaMU dan
sertai kami dalam perjalanan hidup yang panjang ini agar segala ujian yang
berat akan kami lalui sesuai dengan kehendakMU. AMIN.
Dalam Kisah Ini
M. L. R
Tidak ada komentar:
Posting Komentar