Jumat, 24 Januari 2014

Cinta itu Pengorbanan



Suka. Itulah rasa awalnya, namun ke tahap sayang dan cinta tak semudah itu. Bahkan tak dapat dirasakan semua orang apa itu cinta yang sesungguhnya. Cinta mungkin merupakan sebuah rasa indah untuk memiliki dan menjaga tapi bagiku itu juga pengorbanan yang besar. Besar dan istimewa untuk cinta yang kutemukan. Sebuah cinta tanpa syarat.

Cinta itu kutemukan di sini, di tanah Jawa. Dia yang sejak Desember 2012 mengisi hari-hariku.. Dia yang diberikan Tuhan untukku sebagai kado Natal. Dia yang bisa jadi kiriman dari Ayah dan Ibu.
Cinta yang mulanya bahagia meski ada beberapa kerikil kecil hingga suatu ketika dihantam badai yang membuat kami terhempas ke batu karang. Pelangi itu tak ada lagi, mendung tak dapat dibendung. Akhirnya hujan membasahi hari-hari yang semula cerah.

31 Agustus 2013-17 Oktober 2013

Aku sakit. Sakit parah hingga mengundang keputusasaan menghampiri kami berdua. Dokter mendiagnosa bahwa aku menderita Erupsi Obat, Liver dan Hyperpyrexia. Istilah yang terkenal yaitu komplikasi. Virus yang ada di tubuh juga menyerang saraf dan paru-paru. Kondisi tubuhku terutama kulit sangat sensitif terhadap sentuhan bahkan terkena kuku sedikit saja akan membuatku berteriak. Suhu tubuhku berkisar 37-39 derajat Celcius pada 2 minggu pertama opname. Paru-paru yang terisi cairan sering menyebabkanku sesak napas hingga harus memakai oksigen. Kulit tubuhku terkelupas hingga bibir dan mataku tak dapat terbuka akibat luka. Panasnya badanku menyebabkanku harus tidur dengan suhu AC sangat rendah dan rasa gatal setiap hari. Oleh karena itu Dokter menempatkanku di ruang tersendiri. Dokter yang menanganiku berjumlah 3 orang. Dokter Khunadi sebagai spesialis kulit, Dokter Prima sebagai spesialis penyakit dalam dan Dokter Dyah sebagai dokter spesialis paru.

Penyakit ini membuatku harus menjalani serangkaian pemeriksaan laboratorium yang melelahkan, suntikan yang menyakitkan dan tak terhitung, botol infus yang cukup membuatku kembung serta makanan rumah sakit yang enak hingga membuatku mual dan masuk di 2 Rumah Sakit yang berbeda. Karena penyakit ini pula, setengah perkuliahan semester 3 kuhabiskan di Rumah Sakit. Penyakit ini membuatku harus selalu disuntik, diperiksa tensi darahnya, dan diberi antibiotik yang menyakitkan nadi. Berat badanku yang semula 49kg turun menjadi 40kg. Yaa, sangat kurus. Bahkan rambutku rontok karena banyaknya zat kimia yang masuk ke tubuh. Kulitku menghitam dan menipis. Kulit kepala dan mataku mengeluarkan cairan berwarna kuning yang berbau menyengat seperti telur. Warna bola mata yang putih pun harus berubah menjadi kuning karena kadar bilirubin yang tinggi. Aku menjadi sulit berjalan karena pusing akibat kekurangan sel darah merah.

Di rumah sakit kedua aku harus ditempatkan di ruang isolasi. Para perawat dan dokter pun harus memakai sarung tangan dan masker jika ingin berkontak langsung denganku. Tidak sedikit teman yang merasa iba, simpati, empati, sedih, bahkan mungkin merasa jijik denganku.
Aku merasa sangat sedih dan pasrah akan apa yang Tuhan kehendaki. Tiap malam dalam tidurku aku menangis. Di satu sisi aku sangat ingin di saat tersulit itu ada keluarga yang menghibur di sisi lain aku marah pada-Nya. Bahkan berulang kali mengatakan-Nya jahat. Mengapa harus aku lagi yang menerima berbagai cobaan itu? Mengapa bukan orang lain?  Selain daripada itu putus asa adalah masalah terbesarku. Putus asa karena tidak bisa mengikuti perkuliahan. Putus asa karena tidak tahu harus meminta bantuan pembayaran rumah sakit kepada siapa lagi.

Di balik segala keputusasaan itu, Tuhan mengirimkan sedikit cahaya. Di saat-saat paling sulit dalam hidupku itu aku sangat bersyukur ada dia yang selalu menemaniku setiap waktu melewati ujian yang cukup berat untuk kuhadapi sendiri. Bahkan kuliahnya pun tak dihiraukannya. Bahkan dia mandi hanya sekali sehari, makan hanya sekali, pulang ke asrama hanya sebentar saja lalu kembali ke rumah sakit. Di saat aku kepanasan dan AC dinyalakan dia tidak mengeluh meski hidung dan dadanya kesakitan karena udara dari AC. Hanya selimut tipis yang menghangatkan dia tiap malam di sofa kamarku.

Guratan lelah dapat terlihat jelas di wajahnya. Garis-garis kecemasan tak dapat disembunyikannya bahkan tangis tak dapat ditahannya. Aku tahu dia menangis di sudut ruangan rumah sakit. Aku tahu perasaannya yang gelisah dan takut aku tak dapat sembuh. Bahkan aku sendiri mencemaskan hal itu. Di tiap malam tidurnya tak pernah lelap. Berjaga-jaga kalau aku terbangun karena gatal dan panas tubuhku atau jika aku ingin ke toilet. Di saat aku lapar dia dengan setia membelikan dan menyuapkannya ke dalam mulutku yang bahkan sulit kubuka sendiri. Menyeka wajahku dengan air hangat serta membersihkan cairan yang keluar dari mata dan telinga. Memegang tanganku saat perawat-perawat itu menusukkan jarum suntik, mengambil darah dan memberi antibiotik. Aku hanya bisa menangis.

Di kala kesakitan itu juga tak jarang aku memarahinya, membentaknya, menyalahkannya atas segala hal. Tiba-tiba diriku menjadi pemarah dan labil. Sesungguhnya aku tak ada niat menyakitinya, hanya saja keputusasaan membuatku menjadi seperti itu. Putus asa pada titik terendah serta kesedihan mendalam yang menyelimuti hati. Aku hanya ingin di kala seperti itu dapat ditemani keluarga, diberi support dari orang-orang terkasih yang nyata. Meski saat itu kami berdua sudah sangat putus asa, tak henti dirinya terus membacakan ayat-ayat Kitab Suci untukku, mengajakku berdoa dan menyanyikan lagu-lagu yang menghiburku.

Aku merasa Tuhan itu sangat baik, Ia mengirimkan orang-orang yang setia menjaga dan memberi dukungan padaku meski bukan sedarah. Teman-teman, relasi, sahabat, dan semua yang kami kenal datang menjenguk dan memberi doa serta berbagai bantuan lainnya. Cukup sedih saat teman-teman yang menjagaku harus bertahan dalam kedinginan karena suhu AC yang rendah dikarenakan tubuhku yang panas harus terus menggunakan AC dengan suhu paling rendah.
Seketika itu aku tersadar bahwa banyak orang yang menyayangi dan mencintaiku. Masih banyak yang mengorbankan waktu, tenaga, kesempatan bahkan hal-hal yang penting untukku. Aku tak mengharapkan mereka terus-menerus di sampingku namun yang terjadi ialah mereka masih setia. Aku bahagia dan terharu serta tak lupa bersyukur. Akhir dari semuanya kami diberi banyak kemudahan. Kemudahan dalam menjalani ujian itu, kemudahan dalam perkuliahan, kemudahan memperoleh kesembuhan dan berkat Tuhan.

Satu hal yang sangat kusyukuri ialah menemukan dia yang di saat tersulitku masih setia di sisi dan menerima apa adanya. Dari peristiwa ini ku belajar bahwa cinta yang setia dimana saat seseorang berada di titik terendah masih ada yang bersedia terjatuh untuk bangkit kembali bersama. Aku berharap dia juga dapat menjadi cinta sejatiku jika Tuhan merestuinya. Terimakasih Tuhan untuk hadiah-hadiahMU, untuk pengabulan doa kami, untuk malaikat yang Engkau kirimkan. Syukur kepadaMU dan sertai kami dalam perjalanan hidup yang panjang ini agar segala ujian yang berat akan kami lalui sesuai dengan kehendakMU. AMIN.


Dalam Kisah Ini

M. L. R

Tidak ada komentar: